Akh_Gum

menjadi penolong agama Allah SWT adalah satu-satunya profesi yang selalu membuka lowongan bagi pekerja baru. namun menyambung rantai dakwah para rosul tidaklah mudah. Bila diibaratkan dakwah sebagai pohon, ada saja daun yang akan gugur tapi dibalik gugurnya daun tersebut akan tumbuh tunas-tunas baru. Sedangkan daun yang gugur tidak lebih hanya akan menjadi sampah.



Pembunuhan terhadap Syekh Ahmad Yasin lima tahun lalu bukan peristiwa sederhana. Peristiwa itu menjadi pusat perhatian bagi seluruh pejuang kebebasan di dunia, dan secara khusus mengingatkan bangsa Arab dan umat Islam adanya bahaya hakiki Israel di Palestina.

Syahidnya Syekh Ahmad Yasin meningkatkan dukungan besar kepada gerakan Hamas, bukan hanya di Palestina, bahkan dukungan bangsa Arab dan Islam semuanya. Sejak saat itu, semua orang bertanya tentang Hamas, gerakan yang mengguncang bangunan Israel, gerakan ini mulai menyebar secara drastis hingga mayoritas Palestina berafiliasi kepadanya, mereka mendukungnya atau simpati kepada gerakan perlawanan dan ketegaran mereka dalam memperjuangkan prinsip-prinsip dasar Palestina dan menolak perundingan damai dengan Israel.

Syahidnya Syekh Yasin juga mengundang reaksi, yang justru mengatakan bahwa darah beliau akan menjadi “bahan bakar baru” bagi perlawanan.

Kelahiran dan Perlawanan Ahmad Yasin

Syekh Ahmad Yasin lahir tahun 1936 di desa El-Gorah yang dibangun di reruntuhan kota Ashkelon yang bersejarah, berada di Majdal Tengah ke arah utara dari Jalur Gaza sekitar dua puluh kilometer.

Beliau belajar di Sekolah Dasar El Gorah dan terus belajar sampai tingkat kelima.

Sejak “nakbah” -malapetaka dahsyat- menimpa rakyat Palestina di tahun 1948 berupa diproklamirkan berdirinya negara Israel, Ahmad Yasin terpaksa berhijrah bersama keluarganya ke Jalur Gaza dan menetap di kamp pengungsi Shati’ di pantai Jalur Gaza. Selama tinggal di permukiman, beliau putus studi sampai tahun 1950, karena sibuk memberikan kontribusi keberlangsungan hidup keluarganya yang terdiri dari tujuh orang, dengan bekerja di sebuah restoran di Gaza City.

Kemudian beliau melanjutkan studinya di sekolah kamp pengungsi dan menyelesaikan studinya di Tingkat Dasar dan Persiapan tahun 1955, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Palestina yang merupakan sekolah paling bergensi di Jalur Gaza. Suasana politik di Jalur Gaza secara umum sedang bergejolak, terutama di sekolah tempatnya belajar.

Dunia Arab sedang bergejolak dengan aliran-aliran pemikiran, baik yang berhaluan nasionalis, kiri, dan Islam. Gerakan Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan paling aktif di Jalur Gaza. Ia banyak didukung oleh pelajar, bahkan mereka yang berprestasi di kelas dan karenanya dipilih menjadi ketua ketua beragam aktifitas, mereka itu kebanyakan berafiliasi kepada gerakan Islam inin.

Di gerakan Ikhwanul Muslimin, Ahmad Yasin menemunkan apa yang dia cari selama ini. Dakwahnya sesuai dengan keinginannya, baik dari sisi pemikiran agamanya (ideologi), atau dalam hal pandangan politik, dan methodologi pendidikan untuk menyiapkan generasi pembebas Palestina, menyelematkan Al-Aqsha yang penuh berkah dari tangan para penjajah. Ahmad Yasin melihat itu semua dan memberikan bai’atnya kepada gerakan Islam ini pada tahun 1955.

Beliau mengajar bahasa Arab dan Tarbiyah Islamiyyah. Beliau juga seorang penceramah ulung di masjid-masjid di Gaza, bahkan paling popular di sana karena hujjahnya yang kuat. Ia juga dipilih menjadi pengurus Majma’ Islami di Gaza.

Beliau ditangkap oleh Zionis Israel tahun 1984, karena Israel merekayasa rumahnya sebagai gudang senjata yang dibeli oleh Syekh dari seorang agen Israel.

Ia pernah divonis penjara 13 tahun, kemudian keluar dalam proses pertukaran tawanan Tahun 1985.

Pada 17 November 1987 gerakan Islam di bawah kepemimpinannya mengeluarkan keputusan untuk memulai “aksi militer” melawan entitas penjajah Israel.

8 Desember 1987 meletus aksi Intifadhah, beliau sebagai motor penggeraknya, dan sepekan setelah itu, dideklarasikan Gerakan Perlawanan Islam “Hamas”, dan pernyataan resmi pertamanya dikeluarkan 14 Desember 1987 M.

Intensitas aksi serangan dan mogok massal yang digalang oleh Hamas terhadap Zionis Israel semakin keras. Mereka kemudian menangkap Syekh dan sebagian besar pimpinan Hamas dan Ikhwanul Muslimin, pada malam tanggal 18 Mei 1989 M. beliau mendekam di penjara sampai 25 September 1997 M., beliau dibebaskan kembali dalam sebuah negoisasi pertukaran tawanan oleh Raja Husein dengan Israel, setelah gagalnya percobaan pembunuhan terhadap Khalid Misy’al Kepala Biro Politik Hamas yang dilakukan Israel.

Kesaksian Orang Terdekat

Dalah Dr. Asy-Syahid Abdul Aziz ar-Rantisi mengatakan:

“Syeikh Ahmad Yasin ketika masih hidup menjadi simbol Islam yang sangat besar. Dengan syahidnya beliau, beliau menjadi guru unik dan paling menonjol dalam sepanjang sejarah umat. Tidak ada sejarah seperti yang diukur Syekh Yasin, di mana pemimpin yang lemah (karena cacat fisik) mampu mengubah menjadi kekuatan. Ia adalah pemimpin yang tidak pernah percaya dengan kelemahan mutlak atau kekuatan mutlak selama ia masih bernama makhluk manusia.”

Rantisi yang gugur syahid sebulan setelahnya menegaskan bahwa Syekh Yasin lah yang menggerakkan rakyat Palestina yang tidak berdaya untuk melawan Israel dengan batu dan pisau, kemudian dengan bom, kemudian dengan roket-roket Al-Qassam. Syekh Yasin telah merubah kelemahan rakyat menjadi kekuatan yang kini tidak bisa diremehkan Israel dan Amerika.

Rantisi menegaskan bahwa Israel salah ketika membunuh Syekh Yasin, sebab Israel tidak pernah belajar dari masa lalu. Mereka membunuh para nabi, namun mereka gagal memadamkan cahaya yang mereka bawa. Israel tidak akan bisa mematikan cahaya dari jasad Syekh Ahmad Yasin.

Darah Syekh Yasin Pesan untuk Bersatu

Sementara Khalid Misy’al, Ketua Biro Politk Hamas menegaskan:

“Darah Syeikh Ahmad Yasin memberikan pesan kepada bangsa Palestina untuk bersatu dan merapikan barisan. Ia menyatakan, para pejuang Palestina sudah memberikan ruh mereka untuk Allah, kemudian untuk membebaskan Palestina. Gugurnya Syekh Ahmad Yasin akan semakin menjadikan gerakan perlawanan semakin kuat.”

Ia menegaskan bahwa Israel harus tahu bahwa upaya mereka untuk mematahkan semangat rakyat Palestina akan gagal. Tindakan Israel membunuh Syekh Yasin menegaskan bahwa mereka hanya berfikir bagaimana melakukan kejahatan. Karenanya, Misy’al menyerukan agar rakyat Palestina bersatu di belakang perlawanan Palestina.

Hamas Terus Melawan

Sementara itu, Mahmud Az Zehar menegaskan bahwa kejahatan pembunuhan Syekh Ahmad Yasin sebelumnya sudah diprediksi. Namun itu tidak akan membelokkan Hamas dan pimpinannya dari program perlawanan terhadap Israel. Ia menegaskan, boleh Israel menyatakan Syekh Yasin layak mati karena keberadaannya mengancam eksistensi mereka di kawasan. Namun kami mengatakan bahwa Syekh Yasin syahid di sisi Allah, ia hidup dan mendapatkan rizqi, yang mati adalah Israel dan para pemimpinnya yang melakukan kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat Palestina.” tegas Zehar.

Darah Yasin Kobarkan Perlawanan

Sementara itu, Dr. Yusuf Al-Qaradlawi menegaskan bahwa:

“Darah Syekh Yasin tak akan tumpah percuma. Bahkan ia akan menjadi api dan laknat bagi Israel. Kesyahidan Syekh Yasin tidak akan melemahkan perlawanan seperti yang dibayangkan Israel.”

Ia menambahkan bahwa pembunuhan Syekh Yasin adalah kejahatan penjajah Israel. dan Amerika ikut bertanggungjawab atas kejahatan itu. Sebab Israel melakukan kejahatan dengan senjata Amerika, dana, dan dukungan mereka.

Al Qaradhawi juga menegaskan, bangsa Arab harus sadar dan waspada terhadap gerakan Zionis Israel sekaligus bangsa Arab harus menunaikan amanah terhadap saudara-saudara mereka di Palestina. (ip/ut)

Para propagandis Zionis Israel dan pendukungnya mengklaim bahwa orang-orang Palestina pergi meninggalkan Palestina saat perang tahun 1948 berdasarkan atas kemauan dan keinginan mereka sendiri, juga karena dorongan dari para pemimpin-pemimpin Arab kepada mereka lewat program siaran radio, sementara orang-orang Zionis Israel meminta mereka tetap tinggal di Palestina!! Namun mereka tetap memilih pergi meninggalkan Palestina. oleh karena itulah mereka kehilangan hak di tanah mereka sendiri. Mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat oleh tangan-tangan mereka sendiri!

Ironisnya adalah bahwa mendialogkan persoalan aksiomatik dan pertengkaran hakikat kadang lebih berat dari sekadar mendialogkan persoalan kecil dan bermacam-macam mengenai sudut pandang seputarnya. Seandainya Anda dicoba untuk berdialog dengan seseorang (musuh) yang meminta Anda membuktikan bahwa matahari lah yang terbit setiap pagi menyinari bola bumi, sungguh Anda pasti tahu betapa sulitnya Anda menghadapi masalah seperti ini. Dan yang menyakitkan pula, bahwa Anda mendapati saudara-saudara Anda Arab Muslim yang terbuai oleh masalah seperti ini, maka terpengaruh oleh kaum propagandis dan datang sebagai pendebat atau paling tidak bertanya-tanya mencari tahu mengenai hakikat yang sebenarnya.

Pertama: Sebelum membahas segala sesuatunya, siapakah yang mengingkari perilaku alami warga sipil di saat terjadi perang, khususnya saat mereka menyaksikan terjadinya pembantaian dan pembersihan etnis, adalah pergi eksodus menuju wilayah-wilayah yang lebih aman daripada menunggu berakhirnya perang untuk kemudian kembali ke rumah-rumah mereka setelah itu? Bukankah itu juga dilakukan oleh orang-orang Yahudi sendiri? Bukanlah hal semacam ini juga baru saja terjadi di Timor Timur dan juga di berbagai negara lain?

Kedua: Apabila terjadi dan warga pergi meninggalkan daerah mereka saat terjadi perang demi kemaslahatan yang mereka pandang lebih baik, terlepas adanya orang yang mendorong mereka untuk itu, apakah mereka dilarang atau haram bagi mereka untuk kembali ke tanah mereka ketika telah usai. Kenapa orang-orang Bosnia, Afghanistan, Chechnya, Timor Timur dan yang lainnya boleh kembali ke kampung halaman mereka? sementara orang-orang Palestina tidak diperkenankan untuk itu?

Kenapa masyarakat internasional memaksa rezim penguasa di negara-negara tersebut untuk mengembalikan para pengungsi ke tanah mereka dan tidak memaksa entitas Zionis Yahudi untuk hal yang sama?

Ketiga: Jika Zionis Israel benar-benar telah menyerukan kepada orang-orang Palestina untuk tinggal di tanah mereka, tapi mengapa melarang mereka kembali ke tempat asalnya ketika perang telah usai? Setelah di sana tidak ada lagi bahaya apapun yang dapat mengancam keselamatan orang-orang sipil tersebut? Mengapa Zionis Israel justru menggusur tanah orang-orang Palestina dan menggantikan tempat mereka dengan para pemukim imigran Yahudi dari sedikitnya 70 negara di dunia?

Singkat kata, mengapa mereka tidak membuktikan niat baiknya jika mereka memiliki etika yang baik?

Keempat: Orang-orang Zionis Yahudi mengklaim bahwa orang-orang Palestina meninggalkan Palestina atas dasar kemauan mereka sendiri!! Apakah dengan suka rela mereka benar-benar telah bertanya kepada orang-orang Palestina tentang hakikat kemauan mereka? Mengapa mereka orang Yahudi berbicara atas nama orang Palestina dan marah kepada mereka? Adakah mereka memiliki kesiapan membuka pintu untuk kembalinya orang-orang Palestina ke tanah mereka? Jika kemudian terbukti mereka meninggalkan karena dipaksa dan siap kembali ke sana dengan kemauan sendiri? Tidakkah cukup bagi mereka (orang-orang Zionis Israel) puluhan penjelasan, penyataan dan referendum? Lebih dari 50 tahun orang-orang Palestina di kamp-kamp pengungsi menolak ditempatkan tinggal di negara manapun selain Palestina? Juga berbagai aksi revolusi dan intifadhah, bahkan puluhan resolusi PBB yang telah diterbitkan untuk itu, tidakkah cukup bagi mereka semua itu?

Kelima: Jika orang Yahudi mengklaim diri mereka memiliki hak kembali ke Palestina setelah berlalu 2000 tahun mereka meninggalkannya! Kenapa orang-orang asli Palestina dilarang kembali ke tanah kelahiran mereka setelah beberapa bulan atau tahun saja mereka ditinggalkan?

Jika orang Yahudi sendiri tidak menampakkan itikad baiknya secara sungguh-sungguh, juga tidak melakukan program apapun untuk kembali ke Palestina selama 1800 tahun lamanya setelah lewat puluhan generasi, maka ini berdasarkan logika yang sama bahwa orang Yahudi telah kehilangan hak mereka untuk kembali sejak dulu-dulu.

Ala kulli hal, hakikat realita dan bukti-bukti historis juga pengakuan Yahudi sendiri telah mementahkan klaim-klaim dan pemalsuan sejarah mereka. Orang-orang Palestina tidaklah keluar dari tanah air mereka berdasarkan keinginan mereka sendiri, juga bukan karena para pemimpin Arab memerintahkan mereka untuk pergi ke luar Palestina, juga bukan karena para pemimpin Zionis Yahudi berupaya agar orang-orang Palestina tetap tinggal di Palestina dan berintegrasi dengan mereka.

Pada tahun 1961 seorang wartawan Irlandia (Eirsekin Tshailaderz) tinggal beberapa bulan melakukan investigasi sebab-sebab keluarnya orang-orang Palestina dan meminta satu bukti saja kepada para pemimpin Zionis Yahudi yang membuktikan kebenaran klaim-klaim mereka, namun mereka tak mampu melakukan itu. Tidak ada satu dalil pun yang membuktikan bahwa radio-radio Arab mendorong orang-orang Arab Palestina keluar dari tanah air mereka. Kemudian EirSekin merujuk kepada stasiun-stasiun radio Inggris dan Amerika untuk meneliti daftar siaran berita yang tercatat selama tahun 1948, akhirnya dia mengatakan, “Tak ada satu perintah, seruan atau himbauan apapun yang mungkin disiarkan stasiun radio Arab baik di dalam maupun di luar Palestina selama tahun 1948 yang mendorong orang-orang Palestina pergi (dari Palestina). Namun sebaliknya, ditemukan siaran berkali-kali baik seruan, perintah ataupun himbauan yang disiarkan radio-radio Arap ditujukan kepada orang-orang Palestina agar tetap tinggal di Palestina.” Bahkan Eirsekin menemukan bukti jelas yang menunjukkan bahwa radio Israel menyiarkan siaran berbahasa Arab untuk mendorong orang-orang Palestina pergi (dari Palestina).(94)

Komisi tinggi Arab belum mengeluarkan instruksinya kepada orang-orang Palestina untuk pergi (guna memberi kesempatan kepada pasukan Arab), sebagaimana dipromosikan propaganda-propaganda Zionis, bahkan sebaliknya di sana ada lebih dari satu surat resmi yang dikeluarkan komisi, salah satunya adalah surat yang bertanggal 8 Maret 1948 yang meminta pemerintah negara-negara Arab bekerja sama untuk mencegah perginya orang-orang Palestina.(95)

Adapun hakikat yang harus dikukuhkan adalah bahwa niat Zionis Israel sejak awal telah fokus kepada ide negara Yahudi dan membersihkan kebangsaan lain dari wilayahnya. Sejak awal Theodore Hertzel - pendiri organisasi Zionis internasional dan pemimpin pertamanya - dalam memorialnya menulis, “Harus dilaksanakan dua pekerjaan, pengusiran orang-orang Palestina dan terbebas bersih dari mereka dengan sangat hari-hati dan rahasia.” Pemimpin gerakan Zionis di Palestina David Ben Gurion (tahun 1937) pernah mengutip perkataannya bahwa Yahudi harus mengusir orang Arab dan menggantikan tempat mereka.(96)

Penanggung jawab administratif koloni permukiman Yahudi tahun 1940 Yosef Weitz menulis, “Harus menjadi jelas dalam benak kita, bahwasanya di sana tidak ada kesempatan untuk hidup dua bangsa bersama-sama di negeri ini. Untuk itu maka solusi satu-satunya yang mungkin adalah Palestina menjadi wilayah yang bersih dari orang Arab. Tidak ada jalan lain untuk melaksanakan rencana ini kecuali mengusir mereka semua ke negara-negara tetangga.”(97)

Kelak di kemudian hari Zionis Israel mengakui mereka telah melaksanakan rencana besar yang mereka beri nama “Rencana Dalit” untuk menghijrahkan orang-orang Palestina dari tanah mereka. Berdasarkan sejarah Zionis Israel yang resmi, desa-desa Palestina yang melawan rencana ini harus dihancurkan dan diusir warganya ke luar perbatasan negara Zionis Israel.

Salah seorang pemimpin militer Yahudi dalam perang tahun 1948 Ishak Rabin (selanjutnya menjadi Perdana Menteri Israel setelah itu) menulis ungkapan-ungkapan yang berhasil disebarkan oleh harian New York Times pada 23 Oktober 1979, “Kami berjalan keluar di sertai Ben Gurion, dan Elon mengulangi pertanyaannya, apa yang akan kita lakukan terhadap warga Palestina? Ben Gurion menjawabnya dengan gerakan tangan, usir mereka.” Seorang peneliti Yahudi bernama Beny Moris pernah mengungkap dokumen bertanggal 30 Juni 1948 yang dibuat langsung oleh bidang intelijen Yahudi di pasukan Israel. Dokumen ini menjelaskan eksodus massal orang-orang Palestina kala itu disebabkan oleh aksi serangan permusuhan Yahudi langsung ke komunitas-komunitas Arab Palestina dan pengaruh aksi-aksi ini terhadap komunitas-komunitas Arab lainnya, juga disebabkan oleh aksi yang dilakukan kelompok-kelompok teroris Zionis lainnya seperti kelompok geng Argon milik Menachem Begin. Dokumen ini menyebutkan, “Tidak diragukan lagi bahwa aksi-aksi serangan permusuhan yang dilakukan geng Haganah adalah sebab utama dalam eksodus orang-orang Palestina.” Dokumen ini mengakui bahwa lembaga-lembaga dan radio-radio Arab berupaya melawan eksodus (pengusiran) orang-orang Palestina dan menunjukkan kemarahan atas kejadian itu.(98)

David Ben Gurion, yang juga Perdana Menteri Pertama entitas Zionis Israel di Palestina, menulis dalam buku hariannya tertanggal 18 Juli 1948, “Kita harus melakukan apa saja demi menjamin bahwa mereka (para pengungsi Palestina) tidak akan kembali sekali lagi.”(99)

Di pihak lain, pasukan Zionis Israel menggunakan cara-cara pembantaian biadab untuk mengobarkan ketakutan, kecemasan dan pengusiran warga. Selama perang tahun 1948, mereka melancarkan 24 pembantaian terhadap warga sipil Palestina saat melakukan pengusiran warga. Di antaranya yang paling terkenal adalah pembantaian Deir Yasin, dimana dalam pembantaian tersebut pihak pasukan Zionis Israel mengakui telah membunuh 254 orang sipil Palestina laki-laki, wanita dan anak-anak.(100)

Selanjutnya, tidak diragukan lagi bahwa keluarnya orang-orang Palestina dari tanah mereka adalah kerja yang dipolakan dan direncanakan, berhasil dilaksanakan atas persetujuan dan pengarahan pemimpin tingkat tinggi Zionis Israel.

Bersambung…

___

Referensi: Dr. Muhsin Muhammad Shaleh, Warsito, Lc (pent), Ardhu Filistin wa Sya’buha (Tanah Palestina dan Rakyatnya), Seri Kajian Sistematis tentang Issu Palestina (1).

___

Catatan kaki:

94 Cliford Rait, ibid. hlm. 23 - 24.

95 Ibid. hlm. 25.

96 Ibid. hlm. 24 dan 31.

97 Ibid. hlm. 26, lihat teks yang sama dan teks-teks lainnya oleh Waitez di: Nur Masalha, The Expulsion of the Palestinians (U.S.A.: Institute for Palestine Studies, 1993) hlm131 - 132.

98 Cliford Rait. Ibid. hlm. 26 - 29, lihat juga al mausu’ah al filistiniyah 1/585.

99 Ibid. hlm. 32.

100 Abu Sita, of.cit. hlm. 27

Peninggalan manusia purba yang ditemukan dalam galian arkeologi di lembah al Nathuf menunjukkan bahwa penduduk yang mendiami Palestina pada zaman pra sejarah, mereka berasal dari keturunan yang disebut ras Laut Tengah. Sejak 3000 SM, ketika terjadi berbagai eksodus ras Smith, mereka datang dari wilayah Arab menguasai Palestina hingga menjadi mayoritas di sana. Pada saat itulah suku Kan’an sampai di Palestina sekitar tahun 2500 SM. Pada tahun 1500 SM terjadi lagi eksodus ras Smith dari suku Ma’abiya, Edomiya dan Amuniya. Mereka menetap di wilayah selatan Suriah yang membentang dari Laut mati hingga Teluk Aqabah. Kemudian terjadi eksodus ras Smith ketiga yang dilakukan oleh kabilah Anbath, mereka menyebar dan menetap di wilayah Syam sekitar tahun 500 SM. (82)

Di sisi lain, ada kelompok lain yang melakukan eksodus ke Palestina pada sekitar tahun 1200 SM. Mereka adalah kaum bahari yang datang dari wilayah barat Asia Kecil dan kepulauan laut Ijah. Mereka menetap di pantai Palestina, yang kemudian dikenal dengan PLST (Ba Lam Sin Ta). Dengan cepat mereka berasimilasi dan melebur dengan orang-orang Kan’an. Adapun orang-orang Bani Israel, mereka telah mencoba masuk Palestina dengan dipimpin Nabi Musa alaihis salam pada akhir abad ke 12 (sekitar tahun 1230 SM), kemudian setelah itu mereka tinggal di wilayah-wilayah bagian timur laut Palestina. Namun setelah kejatuhan kedua negara mereka, 10 dari 12 suku Bani Israel yang ada melakukan eksodus. Termasuk sejumlah besar mereka yang dipindahkan oleh kerajaan Babilonia pada tahun 721 SM dan tahun 586 SM ke Irak, hingga jumlah mereka di Palestina menyusut drastis. Setelah itu mereka mengalami sedikit kebangkitan, ketika berhasil mendapatkan pemerintahan otonomi yang dipimpin oleh dinasti Mukabiya (tahun 164 - 37 SM), yaitu saat berada di bawah hegemoni Mesopotamia kemudian Romawi. Namun setelah abad kedua masehi (setelah tahun 135 M), tak satu pun peran mereka yang dapat dicatat. (83)

Sementara itu jalur-jalur perdagangan di wilayah negeri Syam sejak milenium pertama SM telah dikuasai secara mayoritas oleh orang-orang Saba’ dan Muin dari Yaman. Dan di antara kabilah-kabilah Arab pertama termasyhur yang mendiami wilayah Syam, termasuk di dalamnya tanah Palestina, adalah kabilah Qadha’ah yang di kemudian hari menjadi pemeluk Nasrani. Mereka ditunjuk oleh raja-raja Romawi untuk memimpin orang-orang Arab Syam. Kemudian datang kabilah Sulaih yang menggantikan tempat kabilah Qadha’ah. Kemudian Bani Ghassan eksodus dari Yaman pada akhir abad ke 3 M dan menetap di wilayah utara Hijaz, kemudian mereka berpindah ke negeri Syam dan pihak Bizantium mengakui kepemimpinan mereka. Maka mereka pun mendirikan negara yang memisahkan antara kerajaan Romawi dan Persia. Kekuasaan mereka meluas menguasai kabilah-kabilah Arab di Palestina. Kerajaan mereka berlanjut hingga sekitar tahun 584 M yang mulai surut kekuasaanya setelah mereka menentang kerajaan Romawi. Dan ketika kerajaan Persia menyerbu negeri Syam pada tahun 713, mereka menghabisi seluruh keturunan orang-orang Ghassan, peristiwa ini terjadi beberapa saat sebelum turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, dan mulai tersebarnya Islam.

Sebelum masa Islam, negeri Syam mengenal tiga entitas Arab. Pertama adalah kemunculan kabilah Anbath di wilayah selatan, Tadmur di wilayah utara dan kabilah Ghassan berada antara kedua kabilah tersebut. Kabilah Tadmur belum pernah sampai pengaruhnya ke Palestina, sementara kabilah Anbath telah memusatkan diri di el Batra’, bagian timur Yordania. Dengan cepat mereka memperluas pengaruhnya secara ekspansif dan mendirikan kerajaan untuk diri mereka yang dipimpin oleh al Harits I sejak tahun 169 SM. Pada masa kejayaannya, kerajaan mereka meliputi wilayah-wilayah timur dan selatan Palestina, wilayah Huran, Idum, Madyan dan wilayah pesisir Laut Merah. Kerajaan mereka mengepung wilayah orang-orang Mukabi (Yahudi) dari tiga arah pada masa kekuasaan al Harits II dan III. Namun kerajaan mereka ini juga tidak bertahan lama, sampai akhirnya jatuh ke tangan Romawi pada akhir abad pertama masehi. (84)

Setelah futuh islami, kabilah-kabilah Arab tersebar di Palestina dan berbaur dengan orang yang telah ada lebih dahulu termasuk dengan kaum Kan’an dan yang lainnya. Terus terjadi arabisasi secara bertahap dan alami di bawah panji Islam, sampai akhirnya agama warga Palestina Islam dan lisan (bahasa) mereka Arab. Secara umum, orang-orang Arab yang tinggal menetap di Palestina, mereka adalah kaum Qahthawi yaitu dari Arab Aribah, yakni mereka adalah dari kabilah Arab yang asal usulnya kembali kepada asli Yaman. Karena mayoritas pasukan futuh Islam waktu itu berasal dari kabilah ini. Dan menetap, misalnya, orang-orang dari kaum Asy’ariyah Thabari dan menjadi mayoritas di sana, dan menetap sebagian kaum keturunan Judzam di Beit Jibrin, selanjutnya menjadi Thabari, dan orang-orang dari kaum Bakar bin Wail tinggal menetap di Jenin, dan yang lainnya dari Mudhar bin Nazzar di Nablus. Di wilayah Hebron (al Khalil) dan sekitarnya telah menetap Lakham dan anak kabilah (marga) Bani Abdul Dar, mereka adalah anak keturunan Tamin al Dari radhiyallahu ‘anhu. Kabilah Aribah yang paling menonjol adalah suku Himyar, anggota suku ini menasabkan diri mereka ke kabilah Qudha’ah, yang anak kabilahnya tersebar di desa-desa el bathani (Gaza), Jama’in (Nablus), Lembah Hanin (Yafa) dan yang lainnya. Dari anak kabilah Qudha’ah yang tersebar di Palestina adalah kabilah kalb, bali, Jahinah, Jaram, Qudamah, Bani Bahra’, Bani’Adzrah, kabilah Qiin dan Maskah. Sedang dari Arab Aribah adalah Bani Kahlan - yang menonjol adalah suku Thai’ yang hari ini dikenal dengan nama Shamr -, Lakham, Zubaid, Aus dan Khazraj semuanya tersebar di tempat-tempat yang berbeda-beda di Palestina.

Di sana juga ada sejumlah kabilah Arab dari wilayah utara Jazirah Arab yang dikenal dengan Bani Adnan atau Bani Ismail atau Bani Arab Musta’rabah. Termasuk yang menisbatkan diri ke kabilah ini adalah kaum Quraisy yang sejumlah marga (keluarga) keturunannya datang ke Palestina dari keturunan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abbas dan dari sahabat-sahabat yang lainnya. Di sana juga ada kabilah ‘Anzah, Harb dan yang lainnya. (85)

Bangsa Palestina masih tetap muslim dan berlisan Arab sejak futuh islami hingga hari ini. mereka tidak pernah terpengaruh oleh masa perang salib dalam struktur pendudukan, kecuali sedikit sekali ketika orang-orang Salib Eropa menyerbu mereka. Maka dengan cepat umat Islam menguasai serangan tersebut dan mengembalikan identitas kemuslimannya. Palestina tetap menjadi tempat yang menarik untuk ditempati karena kedudukannya sebagai tanah suci, karena letak geografisnya yang strategis, karena cuacanya yang sedang, karena potensi pertanian, perdagangan dan yang lainnya. Karenanya, telah tinggal di Palestina orang-orang Israel dari bangsa Kurdi, Barbar (Afrika), Chechnya, Bosnia, Turki yang kemudian terjadi arabisasi dan berbaur dengan pendudukannya. Meski demikian di Palestina masih tetap ada minoritas Nasrani yang hidup dengan aman dan tenang di bawah pemerintahan umat Islam. Di antara orang-orang Nasrani Palestina, mereka yang masih tetap pada agama mereka, adalah penduduk Palestina. Dan juga orang-orang Nasrani yang ingin tinggal di Palestina berasal dari Armenia, Yunani dan yang lainnya. Toleransi Islam juga diberikan seluas-luasnya kepada orang-orang Yahudi untuk tinggal menetap di Palestina, mereka dianggap sebagai ahli dzimmah. Mereka hidup sebagai minoritas yang tidak memiliki obsesi politik. Pada awal abad ke-19, jumlah mereka tidak lebih dari 5 ribu jiwa. Jumlah mereka meningkat menjelang program kerja aktif eksodus Yahudi ke Palestina sekitar tahun 1880 hingga mencapai 23 ribu jiwa. (86)

Ketika pasukan Israel menduduki Palestina pada tahun 1918, jumlah penduduk Palestina sekitar 665 ribu jiwa. Sebanyak 550 jiwa warga muslim, 60 ribu jiwa warga Nasrani dan 55 ribu jiwa warga Yahudi. Yakni orang Arab waktu itu mencapai 91,73% dari seluruh jumlah penduduk. Sedang Yahudi 8,27% yang mayoritasnya mereka itu adalah para pendatang asing yang datang dari Rusia dan Eropa Timur selama 40 tahun sebelumnya. (87)

Di bawah penjajahan Inggris, yang telah berjanji mendirikan negara nasional bagi Yahudi di Palestina, terbuka lebar-lebar pintu migrasi Yahudi ke Palestina dan pembangunan permukiman-permukiman Yahudi. Sehingga selama tahun 1919 - 1948 saja orang-orang Yahudi yang migrasi ke Palestina sebanyak 483 ribu Yahudi. (88) Akan tetapi sampai keluarnya keputusan PBB mengenai pembagian Palestina pada November 1947 orang-orang Arab Muslim Palestina masih tetap mayoritas. Sesuai dengan maklumat (informasi) dari lajnah PBB yang menyarankan pembagian Palestina, maka jumlah penduduk Arab Muslim Palestina mencapai 1 juta 237 ribu 374 jiwa atau 67,05% dari total jumlah penduduk yang ada, sedang Yahudi sekitar 608 ribu 225 jiwa atau 32,95% dari total jumlah penduduk. Angka ini berdasarkan data resmi pihak Inggris tahun 1946. (89)

Keputusan PBB yang zhalim dengan membagi Palestina ini telah berupaya memberikan legalitas bagi pendirian entitas “negara” Zionis Yahudi di tanah Palestina. Wujud kezhaliman yang paling menonjol akibat dari keputusan PBB ini adalah tercerai-berai dan terusirnya warga Palestina. Di wilayah yang dibagi, di mana orang Yahudi mendapat bagian 54% tanah, orang Yahudi yang tinggal hanya 498 orang dan orang Arab Muslimnya 497 ribu jiwa. Sedang di wilayah yang dibagi, di mana orang Arab Palestina Muslim mendapat 45% tanah, orang Arab Palestina yang tinggal sebanyak 725 ribu jiwa sementara Yahudi hanya 10 ribu orang saja. Sementara itu diputuskan wilayah al Quds (1% dari tanah Palestina) berada dalam kontrol internasional dengan dihuni 105 ribu Arab Muslim Palestina dan 100 ribu Yahudi. (90) Berdasarkan studi data yang mendalam, yang dilakukan Janeet Abu Laghad, bahwa jumlah orang-orang Palestina Arab Muslim pada akhir tahun 1948 sekitar 1 juta 398 ribu orang. Sedang menurut perkiraan Salman Abu Sittah, pada tahun yang sama, jumlah orang Palestina sekitar 1 juta 441 ribu jiwa. (91)

Dikarenakan orang-orang Yahudi benar-benar telah siap menghadapi perang, dengan mendapat dukungan dari kekuatan super power untuk membagi Palestina, bahkan siap untuk melakukan ekspansi wilayah entitas Yahudi dan mengusir orang-orang Palestina dari tanah yang telah beratus-ratus tahun mereka tempati, maka perang tahun 1948 benar-benar menjadi bencana dan prahara besar bagi rakyat dan bangsa Palestina. Berdasarkan data pihak PBB, sedikitnya 726 ribu orang Palestina terusir dari tanah tinggal mereka, dan menurut prediksi jumlah itu bertambah mencapai 900 ribu pengungsi. Artinya lebih dari 2/3 rakyat Palestina telah terusir dari kampung halaman mereka. Di mana orang-orang Zionis Yahudi telah mempraktekkan salah satu cara paling biadab dalam melakukan pembersihan etnis dalam sejarah modern. Kemudian posisi orang-orang Palestina yang terusir digantikan oleh orang-orang Zionis Yahudi dari berbagai jenis bangsa dan warna. Pada tahun 1967, penjajah Israel menganeksasi wilayah Palestina yang tersisa (Tepi Barat dan Jalur Gaza) dan mengusir 330 ribu rakyat Palestina berikutnya. (92) Dan penjajah Zionis Israel melarang, dan sampai saat ini masih tetap melarang, orang-orang Palestina kembali ke tanah-tanah mereka. Oleh karena itu, dalam jumlah yang sangat besar, lebih dari separo total penduduk Palestina, sebagai pengungsi di luar tanah Palestina. Yakni sekitar 4 juta 830 ribu pada tahun 2002, atau sekitar 50,55% dari total jumlah warga Palestina. (93)

Masalah pengungsi Palestina adalah masalah kemanusiaan yang paling sulit dalam sepanjang sejarah modern. Mereka adalah para pemilik tanah, paling banyak jumlah dan paling lama mengalami tindak kejahatan bila dibandingkan dengan pengungsi-pengungsi seluruh dunia sejak tahun 1948. Meski demikian, dunia internasional masih tunduk dan mengamini kekuatan negara-negara adi daya, khususnya Amerika Serikat bersama Zionis Israel, yang melarang dan mencegah orang-orang Palestina kembali ke tanah air mereka. Meski sudah ada puluhan resolusi PBB yang menegaskan hak mereka untuk kembali.

Bersambung…

___

Referensi: Dr. Muhsin Muhammad Shaleh, Warsito, Lc (pent), Ardhu Filistin wa Sya’buha (Tanah Palestina dan Rakyatnya), Seri Kajian Sistematis tentang Issu Palestina (1).

___

Catatan kaki:

82 Al Mausu’ah al Filistiniyah 1/362

83 Secara rinci dapat dilihat di al mausu’ah al filistiniyah 1/37, 3/273 - 279, 4/174, sebagaimana telah diisyaratkan di buku Tarikh Filistin al Qadim oleh Dzufrul Islam Khan, yang telah merekomendasikan untuk membeca masalah tema ini.

84 Al mausu’ah al filistiniyah 3/218 - 219 dan 401 - 402.

85 Ibid. 1/362 - 366, 3/253. Seputar rincian kabilah-kabilah Arab di Palestina lihat buku Mustafa Murad al Dibagh, al qabail al arabiyah wa salailuha fii biladina Filistin.

86 Hassan Hallaq, Ibid. hlm. 82 - 84.

87 Sebagian besar sumber (referensi) tidak ada kesamaan angka tertentu secara detail seputar jumlah penduduk tahun 1918, meski perbedaan angka dari masing-masing sumber tidak begitu signifikan dan tidak terlalu urgen. Sedang taksiran jumlah orang Yahudi berdasarkan sumber-sumber yang ada berkisar antara 7% - 10% dari jumlah total penduduk Palestina. Angka yang ada di atas adalah apa yang dilihat penulis mendekati kevalidan berdasarkan pada kajian perbandingan pada sejumlah sumber (referensi).

Lihat misalnya: al Nehal, ibid. hlm. 87, Muhammad Izet Daruza, Filistin wa Jihad al Filistiniyin, hlm. 11. Lihat juga laporan Komisi Palin (P.C. Palin) yang dibentuk oleh pemerintah Inggris untuk penyelidikan pada intifadhah Nabi Musa yang meletus pada 4 - 10 April 1920, data ini masih tersimpan di F.O.371/5121, hlm. 3.

88 Lihat: Muhammad Mi’ari mengenai “komposisi penduduk” di dalam bukunya, Dalil Israil al ‘Am, hlm. 42

89 Al mausu’ah al filistiniyah 1/ 558.

90 Ibid. 1/559 - 560.

91 Salman Abu Sita, Palestinian Right to Return (London: The Palestine Return Centre, 1999) hlm.16.

92 Lihat: Buletin Nasyrah al Audah, edisi 65, Juli 1999. Dan Cliford Rait, Haqaiq wa Abathil fii al Shira’ al Arabi al Israili, terjemahan (dalam bahasa Arab) oleh Abdullah Uraikat dan Abdullah Iyad (Aman: Darul Nashir, 1992) hlm. 36. Juga harian Kuwait al Anba’ edisi 3 Februari 1987.

93 Jumlah penduduk Palestina biasanya didasarkan kepada perkiraan bukan kepada penghitungan data yang detail. Di sana ada data statistic dan perkiraan tahunan khusus berkaitan dengan jumlah penduduk Palestina yang tinggal di entitas Zionis Israel dengan catatan bahwa jumlah mereka itu ditambah warga Palestina yang tinggal di al Quds (Jerusalem) Timur (karena pihak penjajah menyatakan telah menggabungkan secara resmi al Quds Barat dan al Quds Timur) jumlah mereka diperkirakan mencapai 200 ribu. Pemerintah Palestina melakukan pendataan penduduk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 1997 yang biasanya juga meliputi warga Palestina yang ada di al Quds Timur.

Adapun data orang Palestina yang ada diluar maka angka-angka mereka adalah perkiraan berdasarkan ijtihad para peneliti. Dan memungkinkan mendapatkan angka perkiraan dengan mengetahui perkiraan pertambahan jumlah orang-orang Palestina dalam setiap tahunnya dari total jumlah mereka, yang diperkirakan rata-rata angka pertambahannya adalah sekitar 3,4%. Lihat rinciannya pada halan-halaman berikutnya.

Langganan: Postingan (Atom)