Bismillahirohmanirrohim
ANA RINDU DENGAN ZAMAN ITU
surat terbuka untuk Ustadz Rahmat Abdullah yang dimuliakan Allah.
Oleh Dwi Fahrial
(surat yang dibuat ketika Ustadz Rahmat masih ada)
Ustadz yang dikasihi Allah………
Sudah lama ana ingin menulis surat seperti ini, untuk sekedar silaturahmi dan melepas rindu karena lama tak bertemu. Awalnya ana sempat khawatir karena tidak semua orang suka dengan surat sebagai media silaturahmi. Mungkin karena keterbatasan bahasa tulis untuk mengekspresikan makna sebuah nasihat, usulan atau kritikan. Atau kadang-kadang suasana hati yang sedang tidak mood ketika membacanya. Akibatnya nasihat bisa dianggap muslihat, usulan seolah ingin menjatuhkan dan kritik dirasa sangat sarkastik. Akhirnya surat yang dimaksud sebagai media silaturahmi, nasihat, kritik maupun saran itu malah berubah menjadi masalah.
Namun rasa rindu ana akhirnya mengalahkan kekhawatiran itu. Kerinduan untuk bersua, meski hanya dalam lembar-lembar surat ini. Semoga Ustadz bersedia membaca oretan ini dan memaafkan jika ada pilihan kata yang tak berkenan.
Unstadz yang dirahmati Allah……….
Sesungguhnya kerinduan ana yang lebih dahsyat lagi adalah kerinduan menikmati masa-masa indah saat pertama kali mengenal dakwah bersama Ustadz. Saat ketika halaqoh menjadi kebutuhan, bukan sambilan atau tempat mampir sepulang dari kantoran. Saat membina adalah kewajiban bukan paksaan atau beban yang memberatkan. Ana pun rindu ketika dauroh menjadi kebiasaan bukan sekedar program yang dipaksakan.
Rasanya nikmat sekali ketika hampir setiap pekan pergi ke puncak untuk mengisi dauroh. Meski ongkos ngepas dan peta yang tak jelas. Kadang kuyup pula kehujanan atau nyasar di kegelapan. Ana juga rindu saat pintu rumah di ketuk di tengah malam untuk berkumpul esok paginya. Atau pergi jaulah ke luar kota untuk ta’lim silaturahmi atau sekedar menjadi muajih pengganti. Begitu juga kerinduan saat merasakan kenikmatan hadir di liqo, bertemu dengan ikhwah dan memberi makanan hati dan nurani.
Ustadz………terus terang, banyak hal-hal mengasyikkan yang telah hilang dari dakwah ini, dari diri ana tepatnya.
Ustadz yang disayangi Allah ………..
Satu saat di pesta walimahan seorang ikhwah belum lama ini, ana ngobrol-ngobrol dengan beberapa ikhwah yang lain. Ternyata kami merasakan hal yang sama, bahwa sudah lama kami tidak menghadiri lagi walimahan yang benar-benar dipisah antara tamu ikhwan dan akhowatnya seperti “zaman” itu. Kami merasakan adanya pergeseran sikap di kalangan ikhwah. Padahal, pada “zaman” itu, para akhowat berani kabur saat walimahannya hanya karena harus duduk bersanding berdua di depan para tamu. Ada juga yang pura-pura pingsan, sakit perut, kejang kaki dan entah apa lagi yang dilakukan. Mereka hanya ingin menolak ikhtilat sebisa mereka mampu. Hebat sekali mereka. Tapi kini, ikhtilat seakan menjadi biasa saja. Jangankan pesta walimahannya, proses pernikahannya pun ada yang rada-rada aneh. Ada yang ngetek jauh-jauh hari, ada yang memberi kriteria tapi sangat spesifik, ada yang uraian kriterianya sampai dua lembar, bahkan ada yang mengawali proses ta’aruf sendiri. Baik telpon-telponan, SMS atau bahkan bertemu langsung. Berdua, hanya berdua. Sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi pada ”zaman” itu. Jangankan berduaan, berpapasan di jalan saja saling menjauh dan bertamu hanya dari balik pintu. Kadang lucu juga kalau ingat masa itu.
Ustadz ……….ana jadi semakin rindu pada “zaman” itu. Ketika tsiqoh pada Murobbi membuat kami merasa aman untuk saling terbuka. Tsiqoh membuat hubungan menjadi nyaman dan mengasyikkan. Dengan tsiqohlah kami merajut tali ukhuwah dengan tsiqoh pula kami mempercayakan proses pernikahan kami. Seingat ana, rata-rata kami memang mengandalkan ketsiqohan pada murobbi dalam urusan memilih pasangan. Karena kami tahu betul, bahwa murobbi tidak memutuskan sendiri. Ada banyak mata dan telinga lain bersamanya. Dan yang terpenting, kami memahami bahwa murobbi adalah perpanjangan tangan jamaah dalam kedudukannya itu. Itulah modal besar kami dalam berdakwah di marhalah dakwah keluarga.
Ustadz yang diberkahi Allah……..
Ana membaca beberapa tulisan Ust. Mahfudz di majalah saksi tentang kekeruhan hubungan ikhwan akhowat yang kader hingga bikin ana melongo. Temuan kaderisasi DPP tentang masalah ini semakin membuat ana nggak ngerti, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan penghuni rumah besar penghuni tarbiyah ini. masalah datang bertubi-tubi tak henti-henti. Menggoyang pilar-pilar bangunan, membuat dinding bergetar dan atapnya berderak-derak.
Bukan saja menimpa para kader muda yang gadis dan bujangnya, tapi menimpa juga para suami, para istri, para murobbi bahkan para asatidznya juga. Dari mulai anak-anak ustadz yang mulai ABG tapi belum juga mengaji (halaqoh), aktivis kampus yang dilanda virus merah jambu, juga para suami yang bermasalah dengan istri-istrinya karena tren ta’adud, kekerasan keluarga, PIL / WIL, hingga perceraian. Ada juga yang bermasalah di liqo, rekruitmen yang lemah, pembinaan yang payah, sampai ada kader inti yang tidak punya binaan bahkan ada juga yang sudah berbulan-bulan tidak hadir liqo. Entahlah ia menganggap liqo sebagai apa. Masalah lainnya adalah kecemburuan sebagian kader pada ikhwah kita yang menjadi aleg. Kecemburuan yang berubah menjadi hasad, bergeser menjadi ghibah, su-udzon, iri bahkan ujungnya jadi ambisi.
Ana ingat salah satu nasihat Ustadz tentang hal itu, ;”… memangnya kita tidak senang melihat kesenangan saudara kita. Yang tadinya tidak punya motor sekarang punya, yang tadinya menjadi kontraktor kini punya rumah sendiri ……” Ana merasa nasihat itu mampu meredam sebagian sas-sus di kalangan ikhwah. Itulah pentingnya nasihat dan teladan dari seorang guru dan murobbi seperti ustadz. Adem rasanya.
Meski memang tidak dipungkiri, ada juga beberapa aleg yang agak berlebihan dalam mengekspresikan “syukurnya” di hadapan ikhwah yang lain. Bahkan ada pula yang memang jelas-jelas bermasalah.
Ustadz yang di rahmati Allah………..
Ada yang bilang masalah-masalah itu datang sebagai konsekwensi logis dari pilihan kita sendiri. Pilihan kita ketika memasuki mihwar muasasi. Ketika kita menggeser mimbar mimbar dakwah ke kelembagaan (parlemen) setelah sebelumnya berada di mihwar tandzimi dan sya’bi. “……..Hiruk pikuk politik sedemikian keras menggema hingga memekakkan telinga, membutakan mata dan mematikan rasa…” kata sebagian mereka.
Ana tidak sepakat dengan ungkapan itu, tapi menurut ana tidak juga semuanya harus di tolak.
Alhamdulillah buah kebaikan dari pilihan kita itu sudah mulai kita rasakan. Cukup banyak untuk disebutkan. Satu kemenangan luar biasa dalam dunia dakwah kita. Anugerah Allah yang selayaknya disyukuri dengan sedalam-dalam keikhlasan. Meski tentu saja tanpa menutup-nutupi beberapa masalah yang timbul bersamanya. Keterbukaan tandzim, agak terabaikannya pembinaan, melemahnya maknawiyah kader dan membengkaknya pembiayaan dakwah, adalah antara masalah-masalah itu. Namun ana yakin, kita tidak akan berhenti apalagi mundur karena halangan itu. Seperti Musa yang terjepit di tepi laut Merah dari kejaran tentara fir’aun. Ana masih ingat taujih Ustadz ketika menggambarkan situasi itu dan kaitannya dengan kondisi da’i dalam menghadapi ujian. Ketakutan , kecemasan, kesempitan, siksaan dan pembunuhan menjadi selesai dengan kalimat ‘Inna ma’iya Robbi sayahdin..’ (Sesungguhnya aku selalu bersama Robb-ku yang akan memberiku petunjuk). Rahasianya adalah hubungan kita dengan Allah maka situasi apapun yang dihadapi ketika bersama Allah, maka akan selalu mendapat kebaikan, meski nyawa sebagai taruhannya.
Ustadz yang diberkahi Allah………..
Ana masih sepakat jika ada yang mengatakan bahwa Ustadz adalah simbo dakwah ini. bukan karena kultus individu, tapi lebih karena peran dan posisi ustadz dulu dan kini. Apalagi kini sebagai aleg , semakin banyak kader berharap. Melihat contoh teladan ustadz sebagai aleg di parlemen. Sampai ada yang bilang “ kalau Ustadz Rahmat juga bermasalah di parlemen, siapa lagi yang akan kita lihat teladannya……”
Memang, ana rindu betul melihat murobbi kembali jadi teladan. Teladan dalam kesigapan taat, dalam kesiapan menerima kritik, dalam kehadiran, dalam semangat tatsqif, dalam kebugaran fisik, dalam hapalan, dalam banyak bacaan, dalam amalan sunah, dalam bermasyarakat, dalam ………….banyak hal yang menjadi muwashofat kader menuju profil idaman 2009.
Ustadz yang disayangi Allah……
Ke depan, kita pasti membutuhkan energi lebih besar untuk memikul beban dakwah yang berat ini. kesolidan tandzim dan kekuatan maknawiyah kader sudah menjadi keharusan. Selain itu Ustadz, kebijakan, sifat kebapak-an dan qudwah dari para asatidz, murobbi dan pengambil keputusan di level atas agar tetap terjaga. Termasuk kearifan memberlakukan iqob bagi para kader yang melanggar. Tentu saja iqob itu perlu diberlakukan, sebagai bagian proses tarbiyah itu sendiri. Tapi kesalahan juga adalah sifat manusiawi kan Ustadz? Artinya bisa menimpa siapa saja. Termasuk para kader bahkan kader inti sekalipun. Sungguh nasihat-nasihat sejuk dari ustadz sangat mempengaruhi kader-kader yang khilaf, lupa, bersalah bahkan memusuhi. Semoga dengan begitu, mereka akan kembali ke habitat tarbiyah yang berkah ini.
Ustadz ………, semoga ini bisa mengurangi kerinduan ana. Semoga Allah selalu memberi kesehatan dan kekuatan untuk ustadz dan para asatidz yang lain dalam menjaga dakwah di negeri ini. Sehingga tidak ada yang tegak kecuali kalimat Al-Haq, tidak ada yang tinggi kecuali panji Ilahi, dan tidak ada yang menang kecuali para pendukung kebenaran. Hingga tidak ada lagi fitnah, dan Ad-din ini hanya bagi Allah saja. Hingga terwujudlah keadilan dan kesejahteraan di bumi pertiwi ini.
Aamin ya mujibas sailin.
ANA RINDU DENGAN ZAMAN ITU
surat terbuka untuk Ustadz Rahmat Abdullah yang dimuliakan Allah.
Oleh Dwi Fahrial
(surat yang dibuat ketika Ustadz Rahmat masih ada)
Ustadz yang dikasihi Allah………
Sudah lama ana ingin menulis surat seperti ini, untuk sekedar silaturahmi dan melepas rindu karena lama tak bertemu. Awalnya ana sempat khawatir karena tidak semua orang suka dengan surat sebagai media silaturahmi. Mungkin karena keterbatasan bahasa tulis untuk mengekspresikan makna sebuah nasihat, usulan atau kritikan. Atau kadang-kadang suasana hati yang sedang tidak mood ketika membacanya. Akibatnya nasihat bisa dianggap muslihat, usulan seolah ingin menjatuhkan dan kritik dirasa sangat sarkastik. Akhirnya surat yang dimaksud sebagai media silaturahmi, nasihat, kritik maupun saran itu malah berubah menjadi masalah.
Namun rasa rindu ana akhirnya mengalahkan kekhawatiran itu. Kerinduan untuk bersua, meski hanya dalam lembar-lembar surat ini. Semoga Ustadz bersedia membaca oretan ini dan memaafkan jika ada pilihan kata yang tak berkenan.
Unstadz yang dirahmati Allah……….
Sesungguhnya kerinduan ana yang lebih dahsyat lagi adalah kerinduan menikmati masa-masa indah saat pertama kali mengenal dakwah bersama Ustadz. Saat ketika halaqoh menjadi kebutuhan, bukan sambilan atau tempat mampir sepulang dari kantoran. Saat membina adalah kewajiban bukan paksaan atau beban yang memberatkan. Ana pun rindu ketika dauroh menjadi kebiasaan bukan sekedar program yang dipaksakan.
Rasanya nikmat sekali ketika hampir setiap pekan pergi ke puncak untuk mengisi dauroh. Meski ongkos ngepas dan peta yang tak jelas. Kadang kuyup pula kehujanan atau nyasar di kegelapan. Ana juga rindu saat pintu rumah di ketuk di tengah malam untuk berkumpul esok paginya. Atau pergi jaulah ke luar kota untuk ta’lim silaturahmi atau sekedar menjadi muajih pengganti. Begitu juga kerinduan saat merasakan kenikmatan hadir di liqo, bertemu dengan ikhwah dan memberi makanan hati dan nurani.
Ustadz………terus terang, banyak hal-hal mengasyikkan yang telah hilang dari dakwah ini, dari diri ana tepatnya.
Ustadz yang disayangi Allah ………..
Satu saat di pesta walimahan seorang ikhwah belum lama ini, ana ngobrol-ngobrol dengan beberapa ikhwah yang lain. Ternyata kami merasakan hal yang sama, bahwa sudah lama kami tidak menghadiri lagi walimahan yang benar-benar dipisah antara tamu ikhwan dan akhowatnya seperti “zaman” itu. Kami merasakan adanya pergeseran sikap di kalangan ikhwah. Padahal, pada “zaman” itu, para akhowat berani kabur saat walimahannya hanya karena harus duduk bersanding berdua di depan para tamu. Ada juga yang pura-pura pingsan, sakit perut, kejang kaki dan entah apa lagi yang dilakukan. Mereka hanya ingin menolak ikhtilat sebisa mereka mampu. Hebat sekali mereka. Tapi kini, ikhtilat seakan menjadi biasa saja. Jangankan pesta walimahannya, proses pernikahannya pun ada yang rada-rada aneh. Ada yang ngetek jauh-jauh hari, ada yang memberi kriteria tapi sangat spesifik, ada yang uraian kriterianya sampai dua lembar, bahkan ada yang mengawali proses ta’aruf sendiri. Baik telpon-telponan, SMS atau bahkan bertemu langsung. Berdua, hanya berdua. Sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi pada ”zaman” itu. Jangankan berduaan, berpapasan di jalan saja saling menjauh dan bertamu hanya dari balik pintu. Kadang lucu juga kalau ingat masa itu.
Ustadz ……….ana jadi semakin rindu pada “zaman” itu. Ketika tsiqoh pada Murobbi membuat kami merasa aman untuk saling terbuka. Tsiqoh membuat hubungan menjadi nyaman dan mengasyikkan. Dengan tsiqohlah kami merajut tali ukhuwah dengan tsiqoh pula kami mempercayakan proses pernikahan kami. Seingat ana, rata-rata kami memang mengandalkan ketsiqohan pada murobbi dalam urusan memilih pasangan. Karena kami tahu betul, bahwa murobbi tidak memutuskan sendiri. Ada banyak mata dan telinga lain bersamanya. Dan yang terpenting, kami memahami bahwa murobbi adalah perpanjangan tangan jamaah dalam kedudukannya itu. Itulah modal besar kami dalam berdakwah di marhalah dakwah keluarga.
Ustadz yang diberkahi Allah……..
Ana membaca beberapa tulisan Ust. Mahfudz di majalah saksi tentang kekeruhan hubungan ikhwan akhowat yang kader hingga bikin ana melongo. Temuan kaderisasi DPP tentang masalah ini semakin membuat ana nggak ngerti, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan penghuni rumah besar penghuni tarbiyah ini. masalah datang bertubi-tubi tak henti-henti. Menggoyang pilar-pilar bangunan, membuat dinding bergetar dan atapnya berderak-derak.
Bukan saja menimpa para kader muda yang gadis dan bujangnya, tapi menimpa juga para suami, para istri, para murobbi bahkan para asatidznya juga. Dari mulai anak-anak ustadz yang mulai ABG tapi belum juga mengaji (halaqoh), aktivis kampus yang dilanda virus merah jambu, juga para suami yang bermasalah dengan istri-istrinya karena tren ta’adud, kekerasan keluarga, PIL / WIL, hingga perceraian. Ada juga yang bermasalah di liqo, rekruitmen yang lemah, pembinaan yang payah, sampai ada kader inti yang tidak punya binaan bahkan ada juga yang sudah berbulan-bulan tidak hadir liqo. Entahlah ia menganggap liqo sebagai apa. Masalah lainnya adalah kecemburuan sebagian kader pada ikhwah kita yang menjadi aleg. Kecemburuan yang berubah menjadi hasad, bergeser menjadi ghibah, su-udzon, iri bahkan ujungnya jadi ambisi.
Ana ingat salah satu nasihat Ustadz tentang hal itu, ;”… memangnya kita tidak senang melihat kesenangan saudara kita. Yang tadinya tidak punya motor sekarang punya, yang tadinya menjadi kontraktor kini punya rumah sendiri ……” Ana merasa nasihat itu mampu meredam sebagian sas-sus di kalangan ikhwah. Itulah pentingnya nasihat dan teladan dari seorang guru dan murobbi seperti ustadz. Adem rasanya.
Meski memang tidak dipungkiri, ada juga beberapa aleg yang agak berlebihan dalam mengekspresikan “syukurnya” di hadapan ikhwah yang lain. Bahkan ada pula yang memang jelas-jelas bermasalah.
Ustadz yang di rahmati Allah………..
Ada yang bilang masalah-masalah itu datang sebagai konsekwensi logis dari pilihan kita sendiri. Pilihan kita ketika memasuki mihwar muasasi. Ketika kita menggeser mimbar mimbar dakwah ke kelembagaan (parlemen) setelah sebelumnya berada di mihwar tandzimi dan sya’bi. “……..Hiruk pikuk politik sedemikian keras menggema hingga memekakkan telinga, membutakan mata dan mematikan rasa…” kata sebagian mereka.
Ana tidak sepakat dengan ungkapan itu, tapi menurut ana tidak juga semuanya harus di tolak.
Alhamdulillah buah kebaikan dari pilihan kita itu sudah mulai kita rasakan. Cukup banyak untuk disebutkan. Satu kemenangan luar biasa dalam dunia dakwah kita. Anugerah Allah yang selayaknya disyukuri dengan sedalam-dalam keikhlasan. Meski tentu saja tanpa menutup-nutupi beberapa masalah yang timbul bersamanya. Keterbukaan tandzim, agak terabaikannya pembinaan, melemahnya maknawiyah kader dan membengkaknya pembiayaan dakwah, adalah antara masalah-masalah itu. Namun ana yakin, kita tidak akan berhenti apalagi mundur karena halangan itu. Seperti Musa yang terjepit di tepi laut Merah dari kejaran tentara fir’aun. Ana masih ingat taujih Ustadz ketika menggambarkan situasi itu dan kaitannya dengan kondisi da’i dalam menghadapi ujian. Ketakutan , kecemasan, kesempitan, siksaan dan pembunuhan menjadi selesai dengan kalimat ‘Inna ma’iya Robbi sayahdin..’ (Sesungguhnya aku selalu bersama Robb-ku yang akan memberiku petunjuk). Rahasianya adalah hubungan kita dengan Allah maka situasi apapun yang dihadapi ketika bersama Allah, maka akan selalu mendapat kebaikan, meski nyawa sebagai taruhannya.
Ustadz yang diberkahi Allah………..
Ana masih sepakat jika ada yang mengatakan bahwa Ustadz adalah simbo dakwah ini. bukan karena kultus individu, tapi lebih karena peran dan posisi ustadz dulu dan kini. Apalagi kini sebagai aleg , semakin banyak kader berharap. Melihat contoh teladan ustadz sebagai aleg di parlemen. Sampai ada yang bilang “ kalau Ustadz Rahmat juga bermasalah di parlemen, siapa lagi yang akan kita lihat teladannya……”
Memang, ana rindu betul melihat murobbi kembali jadi teladan. Teladan dalam kesigapan taat, dalam kesiapan menerima kritik, dalam kehadiran, dalam semangat tatsqif, dalam kebugaran fisik, dalam hapalan, dalam banyak bacaan, dalam amalan sunah, dalam bermasyarakat, dalam ………….banyak hal yang menjadi muwashofat kader menuju profil idaman 2009.
Ustadz yang disayangi Allah……
Ke depan, kita pasti membutuhkan energi lebih besar untuk memikul beban dakwah yang berat ini. kesolidan tandzim dan kekuatan maknawiyah kader sudah menjadi keharusan. Selain itu Ustadz, kebijakan, sifat kebapak-an dan qudwah dari para asatidz, murobbi dan pengambil keputusan di level atas agar tetap terjaga. Termasuk kearifan memberlakukan iqob bagi para kader yang melanggar. Tentu saja iqob itu perlu diberlakukan, sebagai bagian proses tarbiyah itu sendiri. Tapi kesalahan juga adalah sifat manusiawi kan Ustadz? Artinya bisa menimpa siapa saja. Termasuk para kader bahkan kader inti sekalipun. Sungguh nasihat-nasihat sejuk dari ustadz sangat mempengaruhi kader-kader yang khilaf, lupa, bersalah bahkan memusuhi. Semoga dengan begitu, mereka akan kembali ke habitat tarbiyah yang berkah ini.
Ustadz ………, semoga ini bisa mengurangi kerinduan ana. Semoga Allah selalu memberi kesehatan dan kekuatan untuk ustadz dan para asatidz yang lain dalam menjaga dakwah di negeri ini. Sehingga tidak ada yang tegak kecuali kalimat Al-Haq, tidak ada yang tinggi kecuali panji Ilahi, dan tidak ada yang menang kecuali para pendukung kebenaran. Hingga tidak ada lagi fitnah, dan Ad-din ini hanya bagi Allah saja. Hingga terwujudlah keadilan dan kesejahteraan di bumi pertiwi ini.
Aamin ya mujibas sailin.