Akh_Gum

menjadi penolong agama Allah SWT adalah satu-satunya profesi yang selalu membuka lowongan bagi pekerja baru. namun menyambung rantai dakwah para rosul tidaklah mudah. Bila diibaratkan dakwah sebagai pohon, ada saja daun yang akan gugur tapi dibalik gugurnya daun tersebut akan tumbuh tunas-tunas baru. Sedangkan daun yang gugur tidak lebih hanya akan menjadi sampah.


Dalam satu kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan, kejernihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri.

Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan dipercepat oleh nasabnya ).

Makna tarbiah itu sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-menerus menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya. Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri mereka.

Sesungguhnya mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan untuk ummat manusia. Qs. 3;110). Ummat yang terbaik bukan untuk disem-bunyikan tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.

Jangan ada lagi kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempenga-ruhi lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya, kawas-an ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah, kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini, tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta orang.

Sangat indah ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.

Jangan ada sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk mera-sakan eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing, karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya, ummat dan alam semesta senanti-asa.

Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu meno-long Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu)

Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan

Disanalah kita mentarbiah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Alqur-an dan cahaya Islam rahmatan lil alamin

Sebelum seorang manusia bekerja dan beramal, sebelum seorang muslim melakukan amal-amal yang banyak dalam kehidupannya; pertama-tama yang harus dimiliki adalah al-fahmu. Sebuah pemahaman yang benar tentang ad-dien, tentang agama ini. Sesudah itu, dia harus punya komitmen untuk melaksanakannya. Dia pun merawat amal itu dengan kesabaran dan memilih yang terbaik dari segala kemungkinan yang terbuka di depannya.

Ketika Allah membebaskan seseorang dari semisal kewajiban berperang, mempertahankan dan memperjuangkan Islam, seperti Rasulullah melaksanakannya, 27 kali pertempuran beliau pimpin langsung, 35 kali dipimpin oleh para sahabat, 62 kali perang besar, dengan belasan perang-perang kecil, semua bukan dilandasi nafsu, tapi semata-mata pelaksanaan perintah Allah swt. Bahkan untuk nafsu itu adalah hal yang tidak menyenangkan. Ada beberapa kelompok yang dibebaskan (tidak wajib) bertempur, yaitu perempuan, ibu-ibu, kakek-kakek, jompo-jompo, dan bayi-bayi. Barulah nanti menjadi fardu ‘ain kalau musuh masuk kota, sudah masuk di celah-celah rumah, isteri tidak perlu izin suami untuk bertempur, pembantu, budak tidak perlu izin tuannya untuk bertempur, semua sudah menjadi fardu ‘ain yang tidak bisa dihindari.

Nah, di antara orang-orang yang dihindari, tidak boleh dituduh desertir, melarikan diri dari kewajiban dan tidak mereka disebut berdosa lantaran tidak berperang, adalah orang-orang sakit, orang-orang lemah, dan orang-orang yang tidak punya biaya, tidak punya senjata, tidak punya kendaraan untuk berperang, karena ini bukan membantu tapi malah merepotkan dalam pertempuran. Allah menyebutkan dalam surat at-taubah ayat 91-92.

Tidak ada dosa, tidak ada halangan, tidak boleh mereka dituduh malas, tidak boleh mereka dituduh desertir melarikan diri dari kewajiban membela Islam. Siapa mereka? Pertama, dhuafa’. Para ahli tafsir di antaranya Imam al-Qurthubi, Imam Ibnu Katsir, dan Syekh Jamaluddin al-Qassimi, dan beberapa ahli tafsir sepakat bahwa ad-dhuafa’ itu an-nisaa wal ajaaiz, wa syuyukh, wa sibyan. Perempuan-perempuan, kakek-kakek, nenek-nenek, dan anak-anak. Yang tidak mungkin bekerja berat, apalagi yang namanya berperang, yang logikanya hanya dua: membunuh atau dibunuh.

Karena memang Quraisy sesudah ditinggalkan Muslimin yang hijrah ke Madinah, tidak puas kota Makkah ditinggalkan begitu saja oleh kaum muslimin. Mereka mengejar dan selalu melakukan tindakan-tindakan. Dan begitulah watak karakter abadi kekuatan kafir terhadap kekuatan beriman dengan cara apapun; dengan surat kabar, dengan majalah, dengan partai, dengan kekuatan apa saja. Karenanya, kita disyariatkan untuk shalat khauf kalau lagi perang, shalat dua rakaat Imamnya dia berdiri rakaat pertama, makmumnya tasyahud, untuk apa? Dia pergi yang lagi piket jaga gantian. Semua disebabkan Allah mengatakan yang artinya: “Orang-orang kafir sangat ingin kamu lalai, tidak memelihara, tidak menjaga senjata-senjata kamu dan barang-barang bawaan kamu, bahan makanan.”

Kita tahu dalam perang modern ini dua pos yang selalu diincar musuh: tentara dan perekonomian. Amerika mengembargo senjata untuk negeri semacam Indonesia, tentaranya lemah, pesawatnya kuno, tank-nya gampang mogok. Ekonominya dikelola orang-orang lain yang memusuhi Islam. Dan setiap muncul kekuatan baru yang akan menguasai negeri ini dengan jalan siyasah seperti demokrasi, partai dan sebagainya, mereka tetap akan mencoba menghalangi jalan ke sana.

Nah, ketika golongan-golongan ini dibebaskan, pertama dhuafa’, dan yang kedua al-mardho’ orang-orang sakit. Yang ketiga, orang-orang yang tidak punya biaya, tidak punya alat-alat untuk membela dalam pertempuran. Tidak boleh mereka disebut melarikan diri dari kewajiban dan mereka tidak berdosa. Cuma, ayat ini tidak berhenti di sini. Apakah oleh karena orang sudah bebas, tidak lagi wajib bertempur kayak kakek-kakaek, nenek-nenek, anak-anak, perempuan-perempuan, lalu mereka senang-senang. Seolah mereka mengatakan: kita sudah tidak wajib berperang, enak.

Di sinilah letak perbedaan: mana mental munafikin dan mana mental orang beriman. Kalau munafikin selalu senang, orang-orang yang selalu absen dan maunya di belakang. Betul-betul senang apabila mereka tidak tercatat di buku induk pasukan, tidak dimasukkan ke dalam pasukan yang ikut membela Islam. Begitulah fakta yang terungkap dalam perang Badar, Uhud, Hunain, Khandak, dan bermacam-macam perang yang lain.

Di sinilah terlihat perbedaan munafik dan mukmin. Mereka bisa siapa saja, di mana saja; kalau mereka benar-benar beriman, sedih hatinya kalau tidak bisa ikut membela Islam. Sedih, sungguh-sungguh kesedihannya kalau dia tidak bisa membela agamanya dengan apa yang bisa dia bela. Mungkin di Indonesia ini 99 persen umat Islam Indonesia bisa berkata saya tidak bisa haji karena miskin. 95 persennya mengatakan, “Saya tidak bisa membayar zakat lantaran saya miskin”, “Saya tidak bisa keluarkan infaq dan sedekah, untuk diri saja sudah berat”. Semua bisa diterima secara syar’an wa aqlan, secara akal menurut standar syariat agama kita bisa diterima alasan itu. Dan secara logika juga masuk akal kalau mereka tidak bayar zakat dan tidak pergi haji, karena makan pun sulit umpamanya.

Tapi tidak 1 persen pun, tidak 2 persen pun bisa diterima alasan orang mengatakan “Saya tidak bisa berdoa, saya tidak bisa simpati, saya tidak bisa suka kepada perjuangan Islam”. Ini sudah di ambang batas. Kelewat batas orang yang mengatakan cinta saja tidak bisa, simpati saja pada perjuangan tidak bisa, berdoa saja tidak bisa, menggerakkan hati dan bibir untuk meminta kepada Allah, ”Ya Allah, saya tidak bisa berjuang, saya tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk mewakili perjuangan ini, di front-front perjuangan.” Kalau di Palestina perjuangannya langsung dengan jasad dengan nyawa, kalau di tempat lain mungkin dengan pena dia menulis di surat kabar, majalah, buku-buku, ada yang di mimbar-mimbar, ada yang di gedung parlemen, ada yang menyelamatkan uang negara kalau dia menjadi menteri yang baik. Sekali lagi tidak bisa mereka mengatakan, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa!”

Maka Allah mengatakan atas 3 hal ini dalam firman yang tadi saya sampaikan, orang lemah, orang sakit, dan tidak memiliki biaya, mereka tidak berdosa bila tidak ikut dalam pertempuran, tapi syarat: “idzaa nashohu lillahi wa rasulih.” Apabila mereka mempunyai nashohu (ketulusan hati, punya azam yang kuat, punya cinta dan kesetiaan, punya tekad). Seandainya dia bisa, dia harus melakukan perjuangan itu. Barulah orang-orang lemah, orang sakit, perempuan, yang tidak wajib perang itu lepas dari kewajiban. Karena tidak semua amal digerakkan oleh badan saja, karena ada amal lisan namanya dzikir, ucapan, amar ma’ruf nahi munkar, ada amal jasad seperti haji, umroh, sa’i , thawaf, ada amal hati seperti niat yang baik, menjaga diri dari riya’, mengikhlaskan, memaafkan saudara kita, memasang niat yang kuat untuk memperjuangkan agama Allah, maka Allah mensyaratkan itu “idzaa nashohu lillahi wa rasulih”, himpunan yang berjalin antara tekad, ketulusan hati, kecintaan, kemauan berbuat seandainya punya modal untuk itu.

Kalau ada orang yang mengatakan “biarain aja, ini urusan dunia, nggak ada urusannya dengan urusan akhirat.” Tetapi, ketika orang-orang yang sudah bercokol di parlemen kebanyakan orang kafirnya, dibantailah rakyat; siapa yang bertanggung jawab? Rakyat itu bertanggung jawab atas masa depan dan kondisi mereka.

Nah, memang tidak ada jalan untuk menghukum orang-orang yang berbuat baik di antara muhsinin itu orang yang punya nashohu, orang yang memiliki ketulusan hati, kekuatan azam, kesucian niat, kecintaan, tekad yang kuat untuk berbuat. Apa tandanya? “Walaa alallladzina…….” [QS. At-Taubah (9): 92] tidak juga berdosa, tidak boleh disebut malas atau melarikan diri dari kewajiban. Siapa? Orang-orang yang sudah datang kepadamu, nggak punya modal, nggak punya apa-apa, tapi punya kekuatan tenaga, punya niat yang baik. Mereka berharap Rasulullah bisa memberikan kuda atau unta, membekalinya dengan tombak, pedang dan panah supaya bisa ikut berjihad.

Namun, ketika mereka datang, engkau hanya bisa mengatakan kalau sudah habis semua kuda, semua unta sudah habis, tombak panah sudah terbagikan, engkau hanya bisa menjawab “Saya tidak menemukan apa-apa lagi, saya tidak punya apa-apa lagi, kuda, unta, tombak, panah, sudah habis. Saya tidak bisa bawa kamu ikut berperang.” Terpaksa mereka pergi dengan air mata yang berlinang. Menangis karena tidak bisa bergabung dalam sebuah perang yang mungkin akan menjadikan mereka cacat, buntung tangannya, atau mati syahid di sana. Itulah tanda kesungguhan orang-orang beriman. Mereka pun berlalu dengan duka yang teramat dalam. Semua itu lantaran mereka tidak punya biaya sedikit pun untuk membeli perlengkapan perang.

Kalau sekarang, orang berlomba-lomba cari modal jutaan hingga milyaran untuk jadi polisi, jadi camat, jadi tentara, jadi menteri. Dulu, di masa sahabat, orang mencari duit sendiri untuk setor nyawa (syahid). Itulah bedanya zaman di mana hedonisme, orang berkiblat kepada kesenangan dunia sehingga lupa kepada niat akhirat. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Tarmidzi “dunia itu isinya cuma empat kelompok saja.”

Jumlah manusia milyaran, tapi kualitas manusia cuma empat. Yang pertama “rajulun attaahullahu ‘ilman wa maalan.” Seseorang yang Allah berikan ilmu dan harta. Fahuwa ya’malu bihi waya’lamu annalillahi fiihii haqqan wa yasilu bihi rahimah. Dia laksanakan kewajiban berharta kalau dia kaya, dia tahu Allah memiliki hak dalam harta itu, ada zakat, ada infaq, shadaqah. Dan dengan harta yang Allah berikan itu dia menyambung silaturahim.

Dulu semasa orang belum punya motor, cita-cita kalau sudah ke Jakarta mau silaturahim kepada kerabat, minimal sebulan sekali. Ternyata setelah punya motor, setahun sekali pun tidak. Alasannya, “Nanti setelah punya mobil.” Sudah punya mobil silaturahim tidak jalan juga, telepon pun tidak diangkat. Orang lebih suka kumpul dengan kolega dagang, dengan teman-teman bisnis. Kalau memberi orang tua seratus ribu, terasa berat, tapi untuk traktir teman ratusan ribu tidak berat. Inilah di masa orang memuja kesenangan.

Golongan yang kedua, orang yang diberi ilmu tidak dapat harta. Miskin, tapi punya ilmu. Apa dia bilang dalam hatinya, “Kalau saja Allah memberi saya harta dan kekayaan seperti yang diberikan kepada si fulan yang saleh dan baik itu di mana dengan ilmunya dia beramal, sungguh saya juga akan beramal, saya iri, saya ingin seperti dia.” Yang satu beramal karena kaya dan berilmu, yang satu berilmu saja tidak punya harta. Dua-duanya ini sama dalam satu derajat kebaikan.

Di masa lalu ada orang saleh bernama ‘Ali Al-Fatah. Ketika orang menggiring kambing-kambing qurban. Ali Al-Fatah memang miskin, tapi berilmu, akhlaqnya bagus. Dia bilang, “Ya Allah sekarang saya mau mendekatkan diriku dengan-Mu. Tapi dengan apa? Kambing tak punya. Aku hanya bisa mendekat denganMu melalui duka-dukaku dan kesedihanku.” Para komentator kisah ini mengatakan apa artinya mendekatkan diri dengan Allah dengan kesedihan? Artinya adalah ikut bersedih dengan kesedihan umat, ikut prihatin dengan keprihatinan umat, ikut senang kalau umat senang, ikut berduka kalau umat berduka. Itulah kita maksud dengan selalu memikirkan keadaan dan nasib umat.

Yang ketiga ialah seseorang yang Allah berikan harta, tapi tidak memiliki ilmu. Siang malam kerjaannya maksiat. Tidak mau menunaikan hak-hak Allah. Dan dia tidak menyambung silaturahmi. Salah satu bentuk memutuskan silaturahmi adalah zina. Kelompok yang ketiga ini Rasulullah berkata adalah kelompok yang paling buruk kedudukannya. Punya harta tapi tidak memiliki ilmu, dia gunakan harta itu sebagai sarana untuk maksiat. Melakukan maksiat apa saja yang bisa memuaskan nafsu rendahnya.

Kelompok berikutnya, orang yang tidak diberikan ilmu juga tidak memiliki harta. Sudah miskin, bodoh. Dia bilang kalau Allah memberikan saya kekayaan seperti orang ini (orang yang kaya tapi bodoh), saya akan berbuat kayak dia. Saya akan maksiat. Saya akan berzina. Saya akan mabuk. Walaupun dia tidak melakukan kedudukannya sama dengan orang yang melakukan maksiat, menikmati maksiat karena dia kaya, sementara yang keempat ini miskin tapi bodoh.

Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, kitab paling shahih setelah Al-Qur’an, memberikan judul bab dalam hadits beliau yang shahih, bab al-ilmu qablal qauli wal amal, bab ilmu dulu sebelum banyak bekerja dan beramal. Dalilnya fa’lam annahu laailaaha illallah (QS. 47: 19) “Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selalin Allah,” kemudian “wastaghfiruhu” barulah amal, barulah kata, beristighfarlah atas dosa dan kesalahan-kesalahanmu.

Awal modal kita adalah ilmu. Karena tidak berilmu, walau belum berbuat dosa; orang yang bercita-cita maksiat tadi sudah memiliki derajat yang sama dengan para pemaksiat itu. Orang yang kelompok kedua walaupun belum beramal karena dia miskin, namun dia berilmu, dia bisa menset niatnya sehingga mendapat kedudukan yang sangat terhormat dan mulia.

Yang kedua ada kemauan. Seperti beberapa sahabat Nabi yang tidak ikut berperang, tapi pergi dengan air mata berlinangan, betul-betul sungguh kesedihannya. Itu namanya punya komitmen, punya ketulusan hati, punya kecintaan. Karena itu, selalulah pasang niat untuk berbuat baik.

Orang mengatakan kalau soal pergi haji bukan soal punya duit. Mungkin ini benar. Betapa banyak orang yang uangnya milyaran, tapi tidak pergi-pergi haji juga. Bahkan penduduk Saudi sendiri, tidak semuanya sudah berhaji. Tidak semuanya karena uang, tapi yang terpenting adalah niat dan juga azzam. Seperti itulah yang kerap dilakukan nenek-nenek dan kakek-kakek kita supaya bisa berangkat haji. Setiap hari mereka menabung. Berapa pun, yang penting menabung supaya bisa berangkat haji. Subhanallah! Kenapa hal itu jarang dilakukan generasi sekarang? Ini semua karena orang pada zaman ini, yang makan pendidikan modern, tapi kalah dalam soal niat, kalah dalam soal komitmen. Mengapa? Karena kesenangan hari ini adalah kiblat orang modern, hedonisme.

Langganan: Postingan (Atom)