Akh_Gum

menjadi penolong agama Allah SWT adalah satu-satunya profesi yang selalu membuka lowongan bagi pekerja baru. namun menyambung rantai dakwah para rosul tidaklah mudah. Bila diibaratkan dakwah sebagai pohon, ada saja daun yang akan gugur tapi dibalik gugurnya daun tersebut akan tumbuh tunas-tunas baru. Sedangkan daun yang gugur tidak lebih hanya akan menjadi sampah.


Dalam kamus Lisān al-`Arab (1/614), kata al-harakah (الحركة ) berasal dari kata haruka (حرك), yang memiliki arti lawan dari kata diam atau tidak bergerak (ضد السكون), berarti harakah adalah sesuatu yang bergerak atau suatu gerakan.
Secara bahasa, arti umum harakah adalah perpindahan tubuh dari satu tempat ke tempat tertentu menuju tempat lainnya (انتقال الجسم من مكان إلى مكان آخر). Hal tersebut menandakan adanya langkah-langkah dan usaha-usaha yang terus bergerak dari satu posisi menuju posisi yang lain atau dari satu keadaan menuju keadaan yang lain. Dari sini dapat difahami bahwa al-Harakah al-Islamiyyah berarti langkah-langkah, usaha-usaha dan gerakan-gerakan yang bersifat Islami, yaitu berdasarkan asas-asas, aturan-aturan dan nilai-nilai Islam, baik dalam tujuan, aqidah sikap maupun dalam suluknya.
Manusia diciptakan Allah swt untuk mengabdi hanya kepada-Nya, atau mentauhidkan-Nya. Hal ini mengandung pengertian bahwa arti kehidupan yang sesungguhnya bagi manusia adalah mempersembahkan seluruh aspek kehidupannya hanya untuk beribadah kepada Allah, Rabb , Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta.
Tauhid adalah dasar penciptaan anak cucu keturunan Adam as, seluruh manusia, karena Allah swt telah menciptakan mereka sebagai muwahhidin (hanya mengabdi Allah semata). Bapak manusia, Adam as adalah orang pertama yang menjadi muwahhidin, sebagai fithrah asasi yang melekat pada diri manusia. Manusia sepanjang sejarahnya sejak Adam as hingga Nuh as – semoga Allah mencurahkan kesejahteraan kepada mereka – yang diperkirakan berjarak 10 abad, masih tetap berada di atas landasan tauhid. Sebuah kehidupan Islami yang di-tandai adanya pengabdian dan peribada-tan hanya kepada Allah swt dalam seluruh aspek kehidupannya, dan hal ini telah berhasil diwujudkan oleh Adam as da-lam bentuk pentauhidan yang utuh di alam nyata.
Kehidupan Islami ini berlangsung sampai munculnya penyimpangan besar dari rel kehidupan zaman ummat Nabi Nuh as dalam bentuk kesyirikan kepada Allah swt. Pengabdian yang beralih kepada penyembahan berhala-berhala Wad, Suwa`, Yaguts, Ya`uq dan Nashr tersebar – di mana pada mulanya mereka adalah nama orang-orang shalih di kalangan mereka– yang telah merubah tujuan hakiki dari kehidupan manusia itu sendiri. Inilah titik mula terjadinya penyimpangan hakiki kehidupan insan di muka bumi, dari ketauhidan dan pengabdian hidup hanya kepada Allah swt menuju kehidupan syirik yang penuh kehinaan dan kehancuran bagi alam semesta.
Saat itu dan saat-saat sesudahnya, kafilah-kafilah rasul dan para nabi di utus setiap zamannya oleh Allah swt tanpa henti untuk mengadakan langkah-langkah, usaha-usaha dan gerakan-gerakan mengembalikan manusia ke arah tujuan diciptakannya yaitu tauhid dan pengabdian hanya kepada-Nya, hingga ditutup dan disempurnakan oleh rasul dan nabi terakhir, Nabi Muhammad saw. Usaha, langkah dan gerakan dakwah kepada tawhīdullah merupakan program dasar dan utama yang dilakukan para nabi dan para rasul sebagai pemimpin dan penghulu para da`i di jalan Allah swt. Sebuah tugas utama dan mulia yang mereka sandang sebagai makhluk dan manusia terhormat dan terpuji di alam semesta. Usaha-usaha, langkah-langkah dan gerakan-gerakan yang gigih dan tiada henti yang mereka lakukan, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, baik pagi maupun petang, baik di saat sendiri maupun di saat bersama para pendukungnya telah menjelma menjadi sebuah kafilah dari hara-kah dakwah Islamiyyah yang agung dan mulia.
Kafilah harakah da`wah Islamiyyah inipun terjelma dalam bangunan dakwah jihad dan daulah di masa Rasulullah saw dan khulafa rasyidin yang penuh dengan hidayah dan ‘inayah Allah swt, hingga kemenangan (berkuasa di muka bumi sebagai orang yang beriman kepada Allah), gelombang besar manusia yang masuk ke dalam rahmat Islam dan rasa aman yang menyelimuti ummat dalam agama, akal, jiwa, harta dan kehormatan merekapun terbukti dalam fakta kehidupan yang nyata. Bagi mereka –karena hidayah al-Qur`an dan al-Sunnah– siapa saja yang menjadi muslim tanpa memiliki peran dan tanggung jawab terhadap Islam itu sendiri, maka berarti dia telah menempatkan dirinya sama seperti sikap beragamanya para pendeta di gereja-gereja dan para biksu di kuil-kuil dan kelenteng-kelenteng mereka yang bersikap rahbaniyyah bid‘iyyah.
Masa ini menjadi masa penentu kesempurnaan agama dan beragama, penentu berpikir dan beramal tentang agama dan kehidupan beragama. Masa ini menjadi batu ujian dalam kebenaran beraqidah, beribadah, berakhlak dan beragama se-cara menyeluruh untuk seluruh ummat, di mana semua kebenaran itu harus diu-kur oleh sejauh mana menepati kebenaran yang dipegang oleh Rasulullah saw dan para shahabatnya. Itulah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama`ah yang terpolakan dalam al-Kitab, al-Sunnah dan manhaj al-Salaf al-Shaleh yang diridhai Allah swt serta jalan keselamatan dan kemenangan yang telah ditetapkan-Nya. Manhaj inilah yang dianut, dipegang dengan teguh, diamalkan, didakwahkan dan disebarkan dengan harakah tingkat tinggi, hingga dengan mengorbankan sesuatu yang ter mahal dalam kehidupan.
Di antara perintah Rabbani yang pertama kali diturunkan dalam al-Qur`an adalah:
Perintah memberi peringatan dan menyampaikan wahyu kepada seluruh makhluk, sebuah harakah yang tak boleh berhenti.
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!” [QS. al-Muddatstsir (74): 1-2]
Kemudian, berlanjut dengan apa yang dinamakan fiqh dakwah, di mana ayat yang turun berisi tentang situasi dakwah, seperti dalam firman Allah swt:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” [QS. Yūsūf (12): 108]
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [QS. al-Nahl [(16): 125
Ayat-ayat tersebut menggambarkan sosok seorang da`i muslim yang mengikuti jejak hidup Nabi saw, Muslim Harakiy Sunniy.
Di antara pembentukan penting pertama yang diperhatikan Rasulullah saw adalah kepribadian da`i yang akan mengemban dan menyebarkan tanggung jawab dakwah. Orang pertama yang beliau dakwahkan adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra yang merupakan sosok yang tidak pernah berhenti dan lelah dalam berdakwah. Bahkan, beliaulah orang pertama yang bergerak (berharaki) menye-barkan dakwah secara maksimal, hingga 6 orang tokoh pemuda Quraisy masuk Islam, di samping upayanya yang besar dalam membebaskan para budak yang masuk Islam dari belenggu perbudakan.
Sesungguhnya gerakan para shahabat Nabi saw setelah beliau wafat merupakan bukti nyata bahwa kepribadian yang beliau bentuk dan bina adalah kepribadian mutaharrik (pergerakan) terhadap dien yang tidak pernah diam dan beku.
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata:
“Menyampaikan sunnah Nabi kepada ummat lebih utama daripada mengirimkan anak panah ke leher-leher musuh, karena mengirimkan anak panah dapat dilakukan oleh mayoritas manusia, sedangkan menyampaikan sunnah beliau tidak dapat ditunaikan kecuali oleh para pewaris Nabi dan khalifah ummat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karamah dan nikmat-Nya”
Imam al-Ghazali rahimahullah berkata:
“Ketahuilah! Setiap orang yang duduk dalam rumahnya saat ini, bagaimanapun keadaannya, tidak akan pernah lepas dari berbagai kemungkaran. Bayangkan, ber-diam diri dari upaya memberi penerangan, pengajaran dan pengarahan yang ma’ruf kepada manusia, padahal mayoritas manusia di kota-kota besar berada dalam ke-jahilan terhadap syarat-syarat shalat menurut syari`at, terlebih lagi yang berada di desa-desa dan pelosok-pelosok kampung, baik dari bangsa Arab desa, Kurdi dan Turkistan maupun seluruh manusia. Sesungguhnya di setiap masjid dan wilayah seharusnya memiliki orang alim yang dapat mengajarkan dien kepada manusia, begitu pula di desa-desa. Dan wajib bagi setiap orang alim –setelah selesai menu-naikan fardhu ‘ainnya dan fardhu kifayahnya– untuk keluar ke kota-kota tetangganya, baik yang berkulit hitam, bangsa Arab, Kurdi dan lain-lain, memberikan pengajaran dien dan syari`at-syari`at yang fardhu bagi mereka”.
Malik bin Dinar berkata:
“Seandainya aku mampu tidak tidur, niscaya aku tidak akan tidur khawatir siksaan Allah menimpa di saat aku sedang tidur. Dan seandainya aku menemukan para pendukung, niscaya aku aku menyebarkan mereka ke seluruh dunia untuk menyerukan: Wahai manusia, takutlah api neraka! Takutlah api neraka!”
Ibrahim bin As`ats berkata:
“Dahulu, setiap kali kami keluar bersama al-Fudha’il bin `Iyadh untuk mengantar jenazah, beliau tiada henti-hentinya memberikan nasehat, mengingatkan dan menangis, sampai seakan-akan dia mau berpisah dengan para shahabatnya menuju akhirat hingga sampai ke pekuburan, beliau duduk seakan-akan berada di tengah para mayit, berduka dan menangis sampai beliau berdiri, seakan-akan beliau baru kembali dari akhirat memberitahukan kejadian di sana”
Syuja` bin Walid berkata:
“Dahulu, aku keluar bersama Sufyan al-Tsawri. Di mana waktu pulang dan pergi, lisan beliau tidak pernah lelah untuk beramar ma`ruf dan nahi munkar”
Imam al-Zuhri sendiri tidak pernah merasa cukup hanya mentarbiyah generasi penerus dan mencetak para imam hadits, bahkan beliau keluar terjun langsung ke desa-desa Arab untuk mengajarkan manusia.
Seorang ahli fiqih dan penasehat, Ahmad al-Ghazali (saudara Imam al-Ghazali) masuk ke kampung-kampung dan pelosok-pelosok untuk memberikan nasehat kepada penduduk sebagai taqarrubnya kepada Allah swt.
Taharruk (bergerak) untuk agama dengan mengerahkan kemampuan secara maksimal dalam berdakwah di jalan Allah swt, menegakkan syari`at dan meninggikan kalimat-Nya di muka bumi wajib menjadi unsur asasi dalam sendi-sendi keimanan setiap muslim. Sehingga di setiap waktunya, diapun menghisab diri dengan bertanya: Apakah yang telah aku baktikan untuk agama Allah swt?
Gelisah di pembaringannya tiada henti, tidak asyik dalam dengkuran tidurnya, tidak nikmat dalam kemilau hidupnya. Berita-berita kaum muslimin membuat-nya senang dan sedih. Dia terus berpikir untuk menjalani sampainya kebenaran kepada setiap makhluk, khawatir lalai tidak sempurna. Dia tidak hanya berpikir untuk tetangganya saja, kawannya atau karib kerabatnya saja. Dia berpikir untuk seluruh penduduk belahan bumi manapun, bagaimana memasukkan mereka ke dalam Islam.
Alangkah banyaknya kelalaian yang kita ciptakan, jika bukan karena takut, mungkin karena lemah. Kita meminta ampun dan bertaubat kepada Allah swt atas kelalaian yang kita perbuat. Sudah waktunya untuk kita katakan semaksimal yang kita mampu, sebagai kaffarat (penghapus) kekeliruan masa lalu dan dosa-dosa yang telah terlewat. Tidak lain kecuali mengharap maaf Allah swt dan rahmat-Nya. Umur berlalu dengan cepat dan kehidupan hampir mencapai finish-nya. Ya, memang sudah waktunya mengungkapkan seluruh kondisi kaum mus-limin dan membela Islam semaksimal mungkin dengan ungkapan tegas, kalimat yang jelas dan amal yang lugas. Kita tidak perlu takut kepada siapapun kecuali Allah swt. Semua terjadi menurut batas yang diizinkan Allah swt kepada kita, bahkan Dia mewajibkan kita untuk mengatakannya dengan hidayah Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya saw.
Negeri-negeri yang ada di belahan dunia Islam telah terperosok dalam ju-rang yang dalam tanpa tepi, jurang kekafiran, kebebasan dan kehancuran. Jika kita tidak berdiri menjadi nadzīr (pengingat kewaspadaan), atau tidak mengawasi mereka dari api jahanam, tentu kitapun ikut terperosok bersama mereka, tertimpa berbagai bencana seperti mereka, serta dosa berlipat yang akankita terima.

Para pahlawan mukmin sejati selalu unggul dalam kekuatan spiritual dan semangat hidup. Senantiasa ada gelombang gairah kehidupan yang bertalu-talu didalam jiwa mereka. ltulah yang membuat sorot mata mereka selalu tajam dibalik kelembutan sikap mereka. Itulah yang membuat mereka selalu penuh harapan di saat virus keputusasaan mematikan semangat hidup orang lain. ltulah vitalitas.

Tidak pemahkah kesedihan menghinggapi hati mereka? Tldak adakah Jalan bagi ketakutan menuju jiwa mereka? Pernahkah mereka tergoda oleh keputusasaan untuk mengundurkan diri dari pentas kepahlawanan? Adakah saat dimana mereka merasa lemah, cemas, dan merasa tidak mungkin memenangkan pertarungan?

Para pahlawan itu tetaplah manusia biasa. Semua gejala jiwa yang di rasakan oleh manusia biasa juga di rasakan para pahlawan. Ada saat dimana mereka sedih. Ada saat dimana mereka takut. Jenak-jenak kelemahan, keputusasaan, kecemasan dan keterpurukan juga pemah mendera jiwa mereka.

Tapi yang membedakan dari manusia biasa adalah bahwa mereka selalu mengetahui bagaimana mempertahankan vitalitas, bagaimana melawan keta¬kutan-ketakutan, melawan kesedihan-kesedihan, bagaimana mempertahankan harapan di hadapan keputusasaan, bagaimana melampaui dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat kelemahan mendera jiwa mereka. Mereka mengetahui bagaimana melawan gejala kelumpuhan jiwa.

Vitalitas hidup biasanya dibentuk dari paduan keberanian, harapan hidup, dan kegembiraan jiwa. Tapi ketiga hal ini di bentuk oleh paduan keyakinan-keyakinan iman dan talenta kepahlawanan dalam diri mereka. Dari sini saya kemudian menemukan bahwa para pahlawan mukmin sejati selalu memiliki tradisi spiritual yang khas. Mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan khas yang di bentuk oleh keyakinan yang unik terhadap kegaiban. Dengan cara itu mereka mempertahanknn keyakinan mereka pada pertolongan Allah dan harapan akan kemenangan. Dengan cara itu mereka mempertahankan stamina perlawanan yang konstan. Kebiasaan-kebiasaan yang khas itu biasanya berbentuk ibadah mahdhah, tapi biasanya disertai dengan perilaku-perilaku tertentu yang sangat pribadi. Misalnya dua contoh berikut ini:

Dalam suatu peperangan kaum Muslimin menemukan betapa kekuatan Ibnu Taimiyah melampaui para mujahidin lainnya. Merekapun menanyakan rahasia kekuatan itu pada Ibnu Taimiyah. Beliau menjawab: "Ini adalah buah dari Ma’tsurat yang selalu saya baca di pagi hari setelah sholat subuh sampai terbitnya matahari. Saya selalu menemukan kekuatan yang dahsyat setiap setelah melakukann wirid itu. Tapi jika suatu saat saya tidak melakukannya, saya akan merasa seperti lumpuh hari itu”.

Suatu saat -dalam perang Yarmuk- Khalid Bin Walid menyuruh dengan marah beberapa pasukannya untuk mencari topi perangnya yang hilanq dari kepalanyanya. Beberapa saat kemudian pasukannya muncul dan melaporkan kalau topi Kholid tidak berhasil ditemukan. Khalid pun marah dan menyuruh mereka mencari kembali. Akhir¬nya mereka menemukannya. Tapi kemudian Khalid merasa perlu menjelaskan sikapnya yang unik itu. "Dibalik topi perang saya ini ada beberapa helai rambut Rasulullah SAW. Tidak pemah saya memasuki suatu peperangan dan memakai topi ini melainkan pasti saya merasa yakin bahwa Rasulullah SAW mendoakan kemenanganan bagi saya."

ltu hanyalah sebentuk hubungan yang sangat pribadi dengdn Rasulullah yang pernah menggelarinya "Pedang Allah Yang Senantiasa Terhunus."

"Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidakbisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak?"
--------------
RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?

Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk.

Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.

Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro.

Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani "pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam benak kita selama rapat berlangsung.

Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh.

Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."

Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya demikian.

Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt. Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.

Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih benar.

Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.

Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.

Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita.

Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada jamaah.

Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.

Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak ?
---------------
sumber: Menikmati Demokrasi

Langganan: Postingan (Atom)