Para pahlawan mukmin sejati selalu unggul dalam kekuatan spiritual dan semangat hidup. Senantiasa ada gelombang gairah kehidupan yang bertalu-talu didalam jiwa mereka. ltulah yang membuat sorot mata mereka selalu tajam dibalik kelembutan sikap mereka. Itulah yang membuat mereka selalu penuh harapan di saat virus keputusasaan mematikan semangat hidup orang lain. ltulah vitalitas.
Tidak pemahkah kesedihan menghinggapi hati mereka? Tldak adakah Jalan bagi ketakutan menuju jiwa mereka? Pernahkah mereka tergoda oleh keputusasaan untuk mengundurkan diri dari pentas kepahlawanan? Adakah saat dimana mereka merasa lemah, cemas, dan merasa tidak mungkin memenangkan pertarungan?
Para pahlawan itu tetaplah manusia biasa. Semua gejala jiwa yang di rasakan oleh manusia biasa juga di rasakan para pahlawan. Ada saat dimana mereka sedih. Ada saat dimana mereka takut. Jenak-jenak kelemahan, keputusasaan, kecemasan dan keterpurukan juga pemah mendera jiwa mereka.
Tapi yang membedakan dari manusia biasa adalah bahwa mereka selalu mengetahui bagaimana mempertahankan vitalitas, bagaimana melawan keta¬kutan-ketakutan, melawan kesedihan-kesedihan, bagaimana mempertahankan harapan di hadapan keputusasaan, bagaimana melampaui dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat kelemahan mendera jiwa mereka. Mereka mengetahui bagaimana melawan gejala kelumpuhan jiwa.
Vitalitas hidup biasanya dibentuk dari paduan keberanian, harapan hidup, dan kegembiraan jiwa. Tapi ketiga hal ini di bentuk oleh paduan keyakinan-keyakinan iman dan talenta kepahlawanan dalam diri mereka. Dari sini saya kemudian menemukan bahwa para pahlawan mukmin sejati selalu memiliki tradisi spiritual yang khas. Mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan khas yang di bentuk oleh keyakinan yang unik terhadap kegaiban. Dengan cara itu mereka mempertahanknn keyakinan mereka pada pertolongan Allah dan harapan akan kemenangan. Dengan cara itu mereka mempertahankan stamina perlawanan yang konstan. Kebiasaan-kebiasaan yang khas itu biasanya berbentuk ibadah mahdhah, tapi biasanya disertai dengan perilaku-perilaku tertentu yang sangat pribadi. Misalnya dua contoh berikut ini:
Dalam suatu peperangan kaum Muslimin menemukan betapa kekuatan Ibnu Taimiyah melampaui para mujahidin lainnya. Merekapun menanyakan rahasia kekuatan itu pada Ibnu Taimiyah. Beliau menjawab: "Ini adalah buah dari Ma’tsurat yang selalu saya baca di pagi hari setelah sholat subuh sampai terbitnya matahari. Saya selalu menemukan kekuatan yang dahsyat setiap setelah melakukann wirid itu. Tapi jika suatu saat saya tidak melakukannya, saya akan merasa seperti lumpuh hari itu”.
Suatu saat -dalam perang Yarmuk- Khalid Bin Walid menyuruh dengan marah beberapa pasukannya untuk mencari topi perangnya yang hilanq dari kepalanyanya. Beberapa saat kemudian pasukannya muncul dan melaporkan kalau topi Kholid tidak berhasil ditemukan. Khalid pun marah dan menyuruh mereka mencari kembali. Akhir¬nya mereka menemukannya. Tapi kemudian Khalid merasa perlu menjelaskan sikapnya yang unik itu. "Dibalik topi perang saya ini ada beberapa helai rambut Rasulullah SAW. Tidak pemah saya memasuki suatu peperangan dan memakai topi ini melainkan pasti saya merasa yakin bahwa Rasulullah SAW mendoakan kemenanganan bagi saya."
ltu hanyalah sebentuk hubungan yang sangat pribadi dengdn Rasulullah yang pernah menggelarinya "Pedang Allah Yang Senantiasa Terhunus."
"Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidakbisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak?"
--------------
RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?
Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk.
Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.
Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro.
Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani "pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam benak kita selama rapat berlangsung.
Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh.
Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."
Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya demikian.
Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt. Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.
Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih benar.
Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.
Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.
Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita.
Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada jamaah.
Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.
Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak ?
---------------
sumber: Menikmati Demokrasi
ANA RINDU DENGAN ZAMAN ITU
surat terbuka untuk Ustadz Rahmat Abdullah yang dimuliakan Allah.
Oleh Dwi Fahrial
(surat yang dibuat ketika Ustadz Rahmat masih ada)
Ustadz yang dikasihi Allah………
Sudah lama ana ingin menulis surat seperti ini, untuk sekedar silaturahmi dan melepas rindu karena lama tak bertemu. Awalnya ana sempat khawatir karena tidak semua orang suka dengan surat sebagai media silaturahmi. Mungkin karena keterbatasan bahasa tulis untuk mengekspresikan makna sebuah nasihat, usulan atau kritikan. Atau kadang-kadang suasana hati yang sedang tidak mood ketika membacanya. Akibatnya nasihat bisa dianggap muslihat, usulan seolah ingin menjatuhkan dan kritik dirasa sangat sarkastik. Akhirnya surat yang dimaksud sebagai media silaturahmi, nasihat, kritik maupun saran itu malah berubah menjadi masalah.
Namun rasa rindu ana akhirnya mengalahkan kekhawatiran itu. Kerinduan untuk bersua, meski hanya dalam lembar-lembar surat ini. Semoga Ustadz bersedia membaca oretan ini dan memaafkan jika ada pilihan kata yang tak berkenan.
Unstadz yang dirahmati Allah……….
Sesungguhnya kerinduan ana yang lebih dahsyat lagi adalah kerinduan menikmati masa-masa indah saat pertama kali mengenal dakwah bersama Ustadz. Saat ketika halaqoh menjadi kebutuhan, bukan sambilan atau tempat mampir sepulang dari kantoran. Saat membina adalah kewajiban bukan paksaan atau beban yang memberatkan. Ana pun rindu ketika dauroh menjadi kebiasaan bukan sekedar program yang dipaksakan.
Rasanya nikmat sekali ketika hampir setiap pekan pergi ke puncak untuk mengisi dauroh. Meski ongkos ngepas dan peta yang tak jelas. Kadang kuyup pula kehujanan atau nyasar di kegelapan. Ana juga rindu saat pintu rumah di ketuk di tengah malam untuk berkumpul esok paginya. Atau pergi jaulah ke luar kota untuk ta’lim silaturahmi atau sekedar menjadi muajih pengganti. Begitu juga kerinduan saat merasakan kenikmatan hadir di liqo, bertemu dengan ikhwah dan memberi makanan hati dan nurani.
Ustadz………terus terang, banyak hal-hal mengasyikkan yang telah hilang dari dakwah ini, dari diri ana tepatnya.
Ustadz yang disayangi Allah ………..
Satu saat di pesta walimahan seorang ikhwah belum lama ini, ana ngobrol-ngobrol dengan beberapa ikhwah yang lain. Ternyata kami merasakan hal yang sama, bahwa sudah lama kami tidak menghadiri lagi walimahan yang benar-benar dipisah antara tamu ikhwan dan akhowatnya seperti “zaman” itu. Kami merasakan adanya pergeseran sikap di kalangan ikhwah. Padahal, pada “zaman” itu, para akhowat berani kabur saat walimahannya hanya karena harus duduk bersanding berdua di depan para tamu. Ada juga yang pura-pura pingsan, sakit perut, kejang kaki dan entah apa lagi yang dilakukan. Mereka hanya ingin menolak ikhtilat sebisa mereka mampu. Hebat sekali mereka. Tapi kini, ikhtilat seakan menjadi biasa saja. Jangankan pesta walimahannya, proses pernikahannya pun ada yang rada-rada aneh. Ada yang ngetek jauh-jauh hari, ada yang memberi kriteria tapi sangat spesifik, ada yang uraian kriterianya sampai dua lembar, bahkan ada yang mengawali proses ta’aruf sendiri. Baik telpon-telponan, SMS atau bahkan bertemu langsung. Berdua, hanya berdua. Sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi pada ”zaman” itu. Jangankan berduaan, berpapasan di jalan saja saling menjauh dan bertamu hanya dari balik pintu. Kadang lucu juga kalau ingat masa itu.
Ustadz ……….ana jadi semakin rindu pada “zaman” itu. Ketika tsiqoh pada Murobbi membuat kami merasa aman untuk saling terbuka. Tsiqoh membuat hubungan menjadi nyaman dan mengasyikkan. Dengan tsiqohlah kami merajut tali ukhuwah dengan tsiqoh pula kami mempercayakan proses pernikahan kami. Seingat ana, rata-rata kami memang mengandalkan ketsiqohan pada murobbi dalam urusan memilih pasangan. Karena kami tahu betul, bahwa murobbi tidak memutuskan sendiri. Ada banyak mata dan telinga lain bersamanya. Dan yang terpenting, kami memahami bahwa murobbi adalah perpanjangan tangan jamaah dalam kedudukannya itu. Itulah modal besar kami dalam berdakwah di marhalah dakwah keluarga.
Ustadz yang diberkahi Allah……..
Ana membaca beberapa tulisan Ust. Mahfudz di majalah saksi tentang kekeruhan hubungan ikhwan akhowat yang kader hingga bikin ana melongo. Temuan kaderisasi DPP tentang masalah ini semakin membuat ana nggak ngerti, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan penghuni rumah besar penghuni tarbiyah ini. masalah datang bertubi-tubi tak henti-henti. Menggoyang pilar-pilar bangunan, membuat dinding bergetar dan atapnya berderak-derak.
Bukan saja menimpa para kader muda yang gadis dan bujangnya, tapi menimpa juga para suami, para istri, para murobbi bahkan para asatidznya juga. Dari mulai anak-anak ustadz yang mulai ABG tapi belum juga mengaji (halaqoh), aktivis kampus yang dilanda virus merah jambu, juga para suami yang bermasalah dengan istri-istrinya karena tren ta’adud, kekerasan keluarga, PIL / WIL, hingga perceraian. Ada juga yang bermasalah di liqo, rekruitmen yang lemah, pembinaan yang payah, sampai ada kader inti yang tidak punya binaan bahkan ada juga yang sudah berbulan-bulan tidak hadir liqo. Entahlah ia menganggap liqo sebagai apa. Masalah lainnya adalah kecemburuan sebagian kader pada ikhwah kita yang menjadi aleg. Kecemburuan yang berubah menjadi hasad, bergeser menjadi ghibah, su-udzon, iri bahkan ujungnya jadi ambisi.
Ana ingat salah satu nasihat Ustadz tentang hal itu, ;”… memangnya kita tidak senang melihat kesenangan saudara kita. Yang tadinya tidak punya motor sekarang punya, yang tadinya menjadi kontraktor kini punya rumah sendiri ……” Ana merasa nasihat itu mampu meredam sebagian sas-sus di kalangan ikhwah. Itulah pentingnya nasihat dan teladan dari seorang guru dan murobbi seperti ustadz. Adem rasanya.
Meski memang tidak dipungkiri, ada juga beberapa aleg yang agak berlebihan dalam mengekspresikan “syukurnya” di hadapan ikhwah yang lain. Bahkan ada pula yang memang jelas-jelas bermasalah.
Ustadz yang di rahmati Allah………..
Ada yang bilang masalah-masalah itu datang sebagai konsekwensi logis dari pilihan kita sendiri. Pilihan kita ketika memasuki mihwar muasasi. Ketika kita menggeser mimbar mimbar dakwah ke kelembagaan (parlemen) setelah sebelumnya berada di mihwar tandzimi dan sya’bi. “……..Hiruk pikuk politik sedemikian keras menggema hingga memekakkan telinga, membutakan mata dan mematikan rasa…” kata sebagian mereka.
Ana tidak sepakat dengan ungkapan itu, tapi menurut ana tidak juga semuanya harus di tolak.
Alhamdulillah buah kebaikan dari pilihan kita itu sudah mulai kita rasakan. Cukup banyak untuk disebutkan. Satu kemenangan luar biasa dalam dunia dakwah kita. Anugerah Allah yang selayaknya disyukuri dengan sedalam-dalam keikhlasan. Meski tentu saja tanpa menutup-nutupi beberapa masalah yang timbul bersamanya. Keterbukaan tandzim, agak terabaikannya pembinaan, melemahnya maknawiyah kader dan membengkaknya pembiayaan dakwah, adalah antara masalah-masalah itu. Namun ana yakin, kita tidak akan berhenti apalagi mundur karena halangan itu. Seperti Musa yang terjepit di tepi laut Merah dari kejaran tentara fir’aun. Ana masih ingat taujih Ustadz ketika menggambarkan situasi itu dan kaitannya dengan kondisi da’i dalam menghadapi ujian. Ketakutan , kecemasan, kesempitan, siksaan dan pembunuhan menjadi selesai dengan kalimat ‘Inna ma’iya Robbi sayahdin..’ (Sesungguhnya aku selalu bersama Robb-ku yang akan memberiku petunjuk). Rahasianya adalah hubungan kita dengan Allah maka situasi apapun yang dihadapi ketika bersama Allah, maka akan selalu mendapat kebaikan, meski nyawa sebagai taruhannya.
Ustadz yang diberkahi Allah………..
Ana masih sepakat jika ada yang mengatakan bahwa Ustadz adalah simbo dakwah ini. bukan karena kultus individu, tapi lebih karena peran dan posisi ustadz dulu dan kini. Apalagi kini sebagai aleg , semakin banyak kader berharap. Melihat contoh teladan ustadz sebagai aleg di parlemen. Sampai ada yang bilang “ kalau Ustadz Rahmat juga bermasalah di parlemen, siapa lagi yang akan kita lihat teladannya……”
Memang, ana rindu betul melihat murobbi kembali jadi teladan. Teladan dalam kesigapan taat, dalam kesiapan menerima kritik, dalam kehadiran, dalam semangat tatsqif, dalam kebugaran fisik, dalam hapalan, dalam banyak bacaan, dalam amalan sunah, dalam bermasyarakat, dalam ………….banyak hal yang menjadi muwashofat kader menuju profil idaman 2009.
Ustadz yang disayangi Allah……
Ke depan, kita pasti membutuhkan energi lebih besar untuk memikul beban dakwah yang berat ini. kesolidan tandzim dan kekuatan maknawiyah kader sudah menjadi keharusan. Selain itu Ustadz, kebijakan, sifat kebapak-an dan qudwah dari para asatidz, murobbi dan pengambil keputusan di level atas agar tetap terjaga. Termasuk kearifan memberlakukan iqob bagi para kader yang melanggar. Tentu saja iqob itu perlu diberlakukan, sebagai bagian proses tarbiyah itu sendiri. Tapi kesalahan juga adalah sifat manusiawi kan Ustadz? Artinya bisa menimpa siapa saja. Termasuk para kader bahkan kader inti sekalipun. Sungguh nasihat-nasihat sejuk dari ustadz sangat mempengaruhi kader-kader yang khilaf, lupa, bersalah bahkan memusuhi. Semoga dengan begitu, mereka akan kembali ke habitat tarbiyah yang berkah ini.
Ustadz ………, semoga ini bisa mengurangi kerinduan ana. Semoga Allah selalu memberi kesehatan dan kekuatan untuk ustadz dan para asatidz yang lain dalam menjaga dakwah di negeri ini. Sehingga tidak ada yang tegak kecuali kalimat Al-Haq, tidak ada yang tinggi kecuali panji Ilahi, dan tidak ada yang menang kecuali para pendukung kebenaran. Hingga tidak ada lagi fitnah, dan Ad-din ini hanya bagi Allah saja. Hingga terwujudlah keadilan dan kesejahteraan di bumi pertiwi ini.
Aamin ya mujibas sailin.

Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan dipercepat oleh nasabnya ).
Makna tarbiah itu sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-menerus menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya. Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri mereka.
Sesungguhnya mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan untuk ummat manusia. Qs. 3;110). Ummat yang terbaik bukan untuk disem-bunyikan tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.
Jangan ada lagi kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempenga-ruhi lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya, kawas-an ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah, kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini, tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta orang.
Sangat indah ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.
Jangan ada sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk mera-sakan eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing, karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya, ummat dan alam semesta senanti-asa.
Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu meno-long Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu)
Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan
Disanalah kita mentarbiah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Alqur-an dan cahaya Islam rahmatan lil alamin
Sebelum seorang manusia bekerja dan beramal, sebelum seorang muslim melakukan amal-amal yang banyak dalam kehidupannya; pertama-tama yang harus dimiliki adalah al-fahmu. Sebuah pemahaman yang benar tentang ad-dien, tentang agama ini. Sesudah itu, dia harus punya komitmen untuk melaksanakannya. Dia pun merawat amal itu dengan kesabaran dan memilih yang terbaik dari segala kemungkinan yang terbuka di depannya.
Ketika Allah membebaskan seseorang dari semisal kewajiban berperang, mempertahankan dan memperjuangkan Islam, seperti Rasulullah melaksanakannya, 27 kali pertempuran beliau pimpin langsung, 35 kali dipimpin oleh para sahabat, 62 kali perang besar, dengan belasan perang-perang kecil, semua bukan dilandasi nafsu, tapi semata-mata pelaksanaan perintah Allah swt. Bahkan untuk nafsu itu adalah hal yang tidak menyenangkan.
Nah, di antara orang-orang yang dihindari, tidak boleh dituduh desertir, melarikan diri dari kewajiban dan tidak mereka disebut berdosa lantaran tidak berperang, adalah orang-orang sakit, orang-orang lemah, dan orang-orang yang tidak punya biaya, tidak punya senjata, tidak punya kendaraan untuk berperang, karena ini bukan membantu tapi malah merepotkan dalam pertempuran. Allah menyebutkan dalam
Tidak ada dosa, tidak ada halangan, tidak boleh mereka dituduh malas, tidak boleh mereka dituduh desertir melarikan diri dari kewajiban membela Islam. Siapa mereka? Pertama, dhuafa’.
Karena memang Quraisy sesudah ditinggalkan Muslimin yang hijrah ke Madinah, tidak puas
Kita tahu dalam perang modern ini dua pos yang selalu diincar musuh: tentara dan perekonomian. Amerika mengembargo senjata untuk negeri semacam
Nah, ketika golongan-golongan ini dibebaskan, pertama dhuafa’, dan yang kedua al-mardho’ orang-orang sakit. Yang ketiga, orang-orang yang tidak punya biaya, tidak punya alat-alat untuk membela dalam pertempuran. Tidak boleh mereka disebut melarikan diri dari kewajiban dan mereka tidak berdosa. Cuma, ayat ini tidak berhenti di sini. Apakah oleh karena orang sudah bebas, tidak lagi wajib bertempur kayak kakek-kakaek, nenek-nenek, anak-anak, perempuan-perempuan, lalu mereka senang-senang. Seolah mereka mengatakan: kita sudah tidak wajib berperang, enak.
Di sinilah letak perbedaan: mana mental munafikin dan mana mental orang beriman. Kalau munafikin selalu senang, orang-orang yang selalu absen dan maunya di belakang. Betul-betul senang apabila mereka tidak tercatat di buku induk pasukan, tidak dimasukkan ke dalam pasukan yang ikut membela Islam. Begitulah fakta yang terungkap dalam perang Badar, Uhud, Hunain, Khandak, dan bermacam-macam perang yang lain.
Di sinilah terlihat perbedaan munafik dan mukmin. Mereka bisa siapa saja, di mana saja; kalau mereka benar-benar beriman, sedih hatinya kalau tidak bisa ikut membela Islam. Sedih, sungguh-sungguh kesedihannya kalau dia tidak bisa membela agamanya dengan apa yang bisa dia bela. Mungkin di Indonesia ini 99 persen umat Islam
Tapi tidak 1 persen pun, tidak 2 persen pun bisa diterima alasan orang mengatakan “Saya tidak bisa berdoa, saya tidak bisa simpati, saya tidak bisa suka kepada perjuangan Islam”. Ini sudah di ambang batas. Kelewat batas orang yang mengatakan cinta saja tidak bisa, simpati saja pada perjuangan tidak bisa, berdoa saja tidak bisa, menggerakkan hati dan bibir untuk meminta kepada Allah, ”Ya Allah, saya tidak bisa berjuang, saya tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk mewakili perjuangan ini, di front-front perjuangan.” Kalau di Palestina perjuangannya langsung dengan jasad dengan nyawa, kalau di tempat lain mungkin dengan pena dia menulis di
Maka Allah mengatakan atas 3 hal ini dalam firman yang tadi saya sampaikan, orang lemah, orang sakit, dan tidak memiliki biaya, mereka tidak berdosa bila tidak ikut dalam pertempuran, tapi syarat: “idzaa nashohu lillahi wa rasulih.” Apabila mereka mempunyai nashohu (ketulusan hati, punya azam yang kuat, punya cinta dan kesetiaan, punya tekad). Seandainya dia bisa, dia harus melakukan perjuangan itu. Barulah orang-orang lemah, orang sakit, perempuan, yang tidak wajib perang itu lepas dari kewajiban. Karena tidak semua amal digerakkan oleh badan saja, karena ada amal lisan namanya dzikir, ucapan, amar ma’ruf nahi munkar, ada amal jasad seperti haji, umroh, sa’i , thawaf, ada amal hati seperti niat yang baik, menjaga diri dari riya’, mengikhlaskan, memaafkan saudara kita, memasang niat yang kuat untuk memperjuangkan agama Allah, maka Allah mensyaratkan itu “idzaa nashohu lillahi wa rasulih”, himpunan yang berjalin antara tekad, ketulusan hati, kecintaan, kemauan berbuat seandainya punya modal untuk itu.
Kalau ada orang yang mengatakan “biarain aja, ini urusan dunia, nggak ada urusannya dengan urusan akhirat.” Tetapi, ketika orang-orang yang sudah bercokol di parlemen kebanyakan orang kafirnya, dibantailah rakyat; siapa yang bertanggung jawab? Rakyat itu bertanggung jawab atas masa depan dan kondisi mereka.
Nah, memang tidak ada jalan untuk menghukum orang-orang yang berbuat baik di antara muhsinin itu orang yang punya nashohu, orang yang memiliki ketulusan hati, kekuatan azam, kesucian niat, kecintaan, tekad yang kuat untuk berbuat. Apa tandanya? “Walaa alallladzina…….” [QS. At-Taubah (9): 92] tidak juga berdosa, tidak boleh disebut malas atau melarikan diri dari kewajiban. Siapa? Orang-orang yang sudah datang kepadamu, nggak punya modal, nggak punya apa-apa, tapi punya kekuatan tenaga, punya niat yang baik. Mereka berharap Rasulullah bisa memberikan kuda atau unta, membekalinya dengan tombak, pedang dan panah supaya bisa ikut berjihad.
Namun, ketika mereka datang, engkau hanya bisa mengatakan kalau sudah habis semua kuda, semua unta sudah habis, tombak panah sudah terbagikan, engkau hanya bisa menjawab “Saya tidak menemukan apa-apa lagi, saya tidak punya apa-apa lagi, kuda, unta, tombak, panah, sudah habis. Saya tidak bisa bawa kamu ikut berperang.” Terpaksa mereka pergi dengan air mata yang berlinang. Menangis karena tidak bisa bergabung dalam sebuah perang yang mungkin akan menjadikan mereka cacat, buntung tangannya, atau mati syahid di
Kalau sekarang, orang berlomba-lomba cari modal jutaan hingga milyaran untuk jadi polisi, jadi camat, jadi tentara, jadi menteri. Dulu, di masa sahabat, orang mencari duit sendiri untuk setor nyawa (syahid). Itulah bedanya zaman di mana hedonisme, orang berkiblat kepada kesenangan dunia sehingga lupa kepada niat akhirat. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Tarmidzi “dunia itu isinya cuma empat kelompok saja.”
Jumlah manusia milyaran, tapi kualitas manusia cuma empat. Yang pertama “rajulun attaahullahu ‘ilman wa maalan.” Seseorang yang Allah berikan ilmu dan harta. Fahuwa ya’malu bihi waya’lamu annalillahi fiihii haqqan wa yasilu bihi rahimah. Dia laksanakan kewajiban berharta kalau dia kaya, dia tahu Allah memiliki hak dalam harta itu, ada zakat, ada infaq, shadaqah. Dan dengan harta yang Allah berikan itu dia menyambung silaturahim.
Dulu semasa orang belum punya motor, cita-cita kalau sudah ke Jakarta mau silaturahim kepada kerabat, minimal sebulan sekali. Ternyata setelah punya motor, setahun sekali pun tidak. Alasannya, “Nanti setelah punya mobil.” Sudah punya mobil silaturahim tidak jalan juga, telepon pun tidak diangkat. Orang lebih suka kumpul dengan kolega dagang, dengan teman-teman bisnis. Kalau memberi orang tua seratus ribu, terasa berat, tapi untuk traktir teman ratusan ribu tidak berat. Inilah di masa orang memuja kesenangan.
Golongan yang kedua, orang yang diberi ilmu tidak dapat harta. Miskin, tapi punya ilmu. Apa dia bilang dalam hatinya, “Kalau saja Allah memberi saya harta dan kekayaan seperti yang diberikan kepada si fulan yang saleh dan baik itu di mana dengan ilmunya dia beramal, sungguh saya juga akan beramal, saya iri, saya ingin seperti dia.” Yang satu beramal karena kaya dan berilmu, yang satu berilmu saja tidak punya harta. Dua-duanya ini sama dalam satu derajat kebaikan.
Di masa lalu ada orang saleh bernama ‘Ali Al-Fatah. Ketika orang menggiring kambing-kambing qurban. Ali Al-Fatah memang miskin, tapi berilmu, akhlaqnya bagus. Dia bilang, “Ya Allah sekarang saya mau mendekatkan diriku dengan-Mu. Tapi dengan apa? Kambing tak punya. Aku hanya bisa mendekat denganMu melalui duka-dukaku dan kesedihanku.” Para komentator kisah ini mengatakan apa artinya mendekatkan diri dengan Allah dengan kesedihan? Artinya adalah ikut bersedih dengan kesedihan umat, ikut prihatin dengan keprihatinan umat, ikut senang kalau umat senang, ikut berduka kalau umat berduka. Itulah kita maksud dengan selalu memikirkan keadaan dan nasib umat.
Yang ketiga ialah seseorang yang Allah berikan harta, tapi tidak memiliki ilmu. Siang malam kerjaannya maksiat. Tidak mau menunaikan hak-hak Allah. Dan dia tidak menyambung silaturahmi. Salah satu bentuk memutuskan silaturahmi adalah zina. Kelompok yang ketiga ini Rasulullah berkata adalah kelompok yang paling buruk kedudukannya. Punya harta tapi tidak memiliki ilmu, dia gunakan harta itu sebagai sarana untuk maksiat. Melakukan maksiat apa saja yang bisa memuaskan nafsu rendahnya.
Kelompok berikutnya, orang yang tidak diberikan ilmu juga tidak memiliki harta. Sudah miskin, bodoh. Dia bilang kalau Allah memberikan saya kekayaan seperti orang ini (orang yang kaya tapi bodoh), saya akan berbuat kayak dia. Saya akan maksiat. Saya akan berzina. Saya akan mabuk. Walaupun dia tidak melakukan kedudukannya sama dengan orang yang melakukan maksiat, menikmati maksiat karena dia kaya, sementara yang keempat ini miskin tapi bodoh.
Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, kitab paling shahih setelah Al-Qur’an, memberikan judul bab dalam hadits beliau yang shahih, bab al-ilmu qablal qauli wal amal, bab ilmu dulu sebelum banyak bekerja dan beramal. Dalilnya fa’lam annahu laailaaha illallah (QS. 47: 19) “Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selalin Allah,” kemudian “wastaghfiruhu” barulah amal, barulah kata, beristighfarlah atas dosa dan kesalahan-kesalahanmu.
Awal modal kita adalah ilmu. Karena tidak berilmu, walau belum berbuat dosa; orang yang bercita-cita maksiat tadi sudah memiliki derajat yang sama dengan para pemaksiat itu. Orang yang kelompok kedua walaupun belum beramal karena dia miskin, namun dia berilmu, dia bisa menset niatnya sehingga mendapat kedudukan yang sangat terhormat dan mulia.
Yang kedua ada kemauan. Seperti beberapa sahabat Nabi yang tidak ikut berperang, tapi pergi dengan air mata berlinangan, betul-betul sungguh kesedihannya. Itu namanya punya komitmen, punya ketulusan hati, punya kecintaan. Karena itu, selalulah pasang niat untuk berbuat baik.
Orang mengatakan kalau soal pergi haji bukan soal punya duit. Mungkin ini benar. Betapa banyak orang yang uangnya milyaran, tapi tidak pergi-pergi haji juga. Bahkan penduduk Saudi sendiri, tidak semuanya sudah berhaji. Tidak semuanya karena uang, tapi yang terpenting adalah niat dan juga azzam. Seperti itulah yang kerap dilakukan nenek-nenek dan kakek-kakek kita supaya bisa berangkat haji. Setiap hari mereka menabung. Berapa pun, yang penting menabung supaya bisa berangkat haji. Subhanallah! Kenapa hal itu jarang dilakukan generasi sekarang? Ini semua karena orang pada zaman ini, yang makan pendidikan modern, tapi kalah dalam soal niat, kalah dalam soal komitmen. Mengapa? Karena kesenangan hari ini adalah kiblat orang modern, hedonisme.
Tatkala Allah SWT memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.
Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.
Namun kebatilan pun dibela dengan sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib ra menyatakan : “Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan dikalahkan oleh Al-bathil yang tertata dengan baik”.
Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,
Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.
Di situlah letak hikmahnya yakni bahwa seorang da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan, azam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.
Ali sempat mengeluh ketika melihat semangat juang pasukannya mulai melemah, sementara para pemberontak sudah demikian destruktif, berbuat dan berlaku seenak-enaknya. Para pengikut Ali saat itu malah menjadi ragu-ragu dan gamang, sehingga Ali perlu mengingatkan mereka dengan kalimatnya yang terkenal tersebut.
Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,
Ketika Allah menyuruh Nabi Musa as mengikuti petunjuk-Nya, tersirat di dalamnya sebuah pesan abadi, pelajaran yang mahal dan kesan yang mendalam: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang teguh kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasiq”.(QS. Al-A’raaf (7):145)
Demikian juga perintah-Nya terhadap Yahya, dalam surat Maryam ayat 12: “Hudzil kitaab bi quwwah” (Ambil kitab ini dengan quwwah). Yahya juga diperintahkan oleh Allah untuk mengemban amanah-Nya dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan). Jiddiyah ini juga nampak pada diri Ulul Azmi (lima orang Nabi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad yang dianggap memiliki azam terkuat).
Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.
Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”.
Hendaknya kita melihat bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka hanya sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang, namun sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya.
Seharusnyalah kisah-kisah tersebut menjadi ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita. Seperti digambarkan dalam QS. 11:120, orang-orang yang beristiqomah di jalan Allah akan mendapatkan buah yang pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak kunjung dapat menarik ibrah dan tidak semakin bertambah teguh, besar kemungkinannya ada yang salah dalam diri kita. Seringkali kurangnya jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dalam diri kita membuat kita mudah berkata hal-hal yang membatalkan keteladanan mereka atas diri kita. Misalnya: “Ah itu kan Nabi, kita bukan Nabi. Ah itu kan istri Nabi, kita kan bukan istri Nabi”. Padahal memang tanpa jiddiyah sulit bagi kita untuk menarik ibrah dari keteladanan para Nabi, Rasul dan pengikut-pengikutnya.
Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,
Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan harta.
Misalnya anak yang mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari tetes keringatnya sendiri.
Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan seterusnya.
Demikian pula dalam kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah. Tidak mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.
Kita dapat melihatnya dalam kisah Nabi Musa as. Kita melihat bagaimana kesabaran, keuletan, ketangguhan dan kedekatan hubungannya dengan Allah membuat Nabi Musa as berhasil membawa umatnya terbebas dari belenggu tirani dan kejahatan Fir’aun.
Berkat do’a Nabi Musa as dan pertolongan Allah melalui cara penyelamatan yang spektakuler, selamatlah Nabi Musa dan para pengikutnya menyeberangi Laut Merah yang dengan izin Allah terbelah menyerupai jalan dan tenggelamlah Fir’aun beserta bala tentaranya.
Namun apa yang terjadi? Sesampainya di seberang dan melihat suatu kaum yang tengah menyembah berhala, mereka malah meminta dibuatkan berhala yang serupa untuk disembah. Padahal sewajarnya mereka yang telah lama menderita di bawah kezaliman Fir’aun dan kemudian diselamatkan Allah, tentunya merasa sangat bersyukur kepada Allah dan berusaha mengabdi kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Kurangnya iman, pemahaman dan kesungguh-sungguhan membuat mereka terjerumus kepada kejahiliyahan.
Sekali lagi marilah kita menengok kekayaan sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah. Kembali kita akan menarik ibrah dari kisah Nabi Musa as dan kaumnya.
Dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 20-26 :
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain”.
“Hai, kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”.
“Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari negri itu. Jika mereka keluar dari negri itu, pasti kami akan memasukinya”.
“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
“Mereka berkata: “Hai Musa kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.
“Berkata Musa: “Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasiq itu”.
“Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasiq itu”.
Rangkaian ayat-ayat tersebut memberikan pelajaran yang mahal dan sangat berharga bagi kita, yakni bahwa manusia adalah anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan yang sangat terpengaruh oleh lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi jika mereka mau berusaha seperti tertera dalam QS. Ar-Ra’du (13):11, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha merubahnya sendiri”.
Nabi Musa as adalah pemimpin yang dipilihkan Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka tsiqqah pada Nabi Musa. Apalagi telah terbukti ketika mereka berputus asa dari pengejaran dan pengepungan Fir’aun beserta bala tentaranya yang terkenal ganas, Allah SWT berkenan mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga menjawab segala kecemasan, keraguan dan kegalauan mereka seperti tercantum dalam QS. Asy-Syu’ara (26):61-62, “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku”.
Semestinya kaum Nabi Musa melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai Allah pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena jaminan kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya melihat laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi semua itu sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh merupakan opium, candu yang berbahaya.
Mereka menginginkan hasil tanpa kerja keras dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah “qaumun jabbarun” yang rendah, santai dan materialistik. Seharusnya mereka melihat bagaimana kesudahan nasib Fir’aun yang dikaramkan Allah di laut Merah.
Seandainya mereka yakin akan pertolongan Allah dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu tsiqqah pada kepemimpinan Nabi Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah akan memasuki Palestina dengan selamat. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam QS. 47:7, “In tanshurullah yanshurkum wayutsabbit bihil aqdaam” (Jika engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu).
Hendaknya jangan sampai kita seperti Bani Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya, mereka dengan segala kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang sendiri. “Pergilah engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan akhlak dan militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki negri itu. Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa memasuki negri itu.
Namun demikian, Allah yang Rahman dan Rahim tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna dan salwa, padahal mereka dalam kondisi sedang dihukum.
Tetapi tetap saja kedegilan mereka tampak dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka mengatakan kepada Nabi Musa tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.
Orientasi keduniawian yang begitu dominan pada diri mereka membuat mereka begitu kurang ajar dan tidak beradab dalam bersikap terhadap pemimpin. Mereka berkata: “Ud’uulanaa robbaka” (Mintakan bagi kami pada Tuhanmu). Seyogyanya mereka berkata: “Pimpinlah kami untuk berdo’a pada Tuhan kita”.
Kebodohan seperti itu pun kini sudah mentradisi di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus Muslim, tidak pernah ke masjid tapi mampu membayar sehingga banyak orang di masjid yang menyalatkan jenazah salah seorang keluarga mereka, sementara mereka duduk-duduk atau berdiri menonton saja.
Rasulullah saw memang telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa”. Sahabat bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”.
Kebodohan dalam meneladani Rasulullah juga bisa terjadi di kalangan para pemikul dakwah sebagai warasatul anbiya (pewaris nabi).
Mereka mengambil keteladanan dari beliau secara tidak tepat. Banyak ulama atau kiai yang suka disambut, dielu-elukan dan dilayani padahal Rasulullah tidak suka dilayani, dielu-elukan apalagi didewakan. Sebaliknya mereka enggan untuk mewarisi kepahitan, pengorbanan dan perjuangan Rasulullah. Hal itu menunjukkan merosotnya militansi di kalangan ulama-ulama amilin.
Mengapa hal itu juga terjadi di kalangan ulama, orang-orang yang notabene sudah sangat faham. Hal itu kiranya lebih disebabkan adanya pergeseran dalam hal cinta dan loyalitas, cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya telah digantikan dengan cinta kepada dunia.
Mentalitas Bal’am, ulama di zaman Fir’aun adalah mentalitas anjing sebagaimana digambarkan di Al-Qur’an. Dihalau dia menjulurkan lidah, didiamkan pun tetap menjulurkan lidah. Bal’am bukannya memihak pada Musa, malah memihak pada Fir’aun. Karena ia menyimpang dari jalur kebenaran, maka ia selalu dibayang-bayangi, didampingi syaithan. Ulama jenis Bal’am tidak mau berpihak dan menyuarakan kebenaran karena lebih suka menuruti hawa nafsu dan tarikan-tarikan duniawi yang rendah.
Kader yang tulus dan bersemangat tinggi pasti akan memiliki wawasan berfikir yang luas dan mulia. Misalnya, manusia yang memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang berharganya cincin berlian, mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi anjing yang ada di dekat cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi cincin berlian.
Ia baru akan berlari mengejar tulang, lalu mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya. Sampailah anjing tersebut di tepi telaga yang bening dan ia serasa melihat musuh di permukaan telaga yang dianggapnya akan merebut tulang darinya. Karena kebodohannya ia tak tahu bahwa itu adalah bayangan dirinya. Ia menerkam bayangan dirinya tersebut di telaga, hingga ia tenggelam dan mati.
Kebahagiaan sejati akan diperoleh manusia bila ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan rapuh, dan sebaliknya justru berorientasi pada keabadian.
Nabi Yusuf as sebuah contoh keistiqomahan, ia memilih di penjara daripada harus menuruti hawa nafsu rendah manusia. Ia yang benar di penjara, sementara yang salah malah bebas.
Ada satu hal lagi yang bisa kita petik dari kisah Nabi Yusuf as. Wanita-wanita yang mempergunjingkan Zulaikha diundang ke istana untuk melihat Nabi Yusuf. Mereka mengiris-iris jari-jari tangan mereka karena terpesona melihat Nabi Yusuf. “Demi Allah, ini pasti bukan manusia”. Kekaguman dan keterpesonaan mereka pada seraut wajah tampan milik Nabi Yusuf membuat mereka tidak merasakan sakitnya teriris-iris.
Hal yang demikian bisa pula terjadi pada orang-orang yang punya cita-cita mulia ingin bersama para nabi dan rasul, shidiqin, syuhada dan shalihin. Mereka tentunya akan sanggup melupakan sakitnya penderitaan dan kepahitan perjuangan karena keterpesonaan mereka pada surga dengan segala kenikmatannya yang dijanjikan.
Itulah ibrah yang harus dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah adalah sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.
Semoga kita terhindar dari penyimpangan-penyimpangan seperti itu dan tetap memiliki jiddiyah, militansi untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Amin.
Wallahu a’lam bis shawab.
“Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki, dan ketajaman akal.” (Malik Bin Nabi, Ta`ammulat; 35)
Ledakan Energi Peradaban
Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu-sedan, Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu. Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri,
Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi. Tapi peluru logam telah kami patahkan alam doa bersama, dan kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan. (Taufik Ismail, 1998)
Begitulah Taufik Ismail lewat sajak berjudul 12 Mei 1998 mengabadikan kepahlawanan empat mahasiswa Trisakti yang gugur diterjang peluru kediktatoran rezim Orde Baru; Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidin Royan. Mereka adalah sebagian dari pelaku baru sejarah
Indonesia dan sekaligus fajar yang menandai lahirnya generasi baru, generasi 1998.
Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya; anak-anak yang membawa keberanian ditengah ketakutan, mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, memekikkan gaung pembelaan di tengah pengkhianatan; anak-anak yang memberikan darahnya dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan; anak-anak yang meninggalkan kenikmatan masa mudanya dengan penuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya agar bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik.
Maka sejarah panjang bangsa ini, setidak-tidaknya dalam hitungan abad ini, ditandai dengan kelahiran generasi demi generasi pada setiap persimpangan sejarah. Jika generasi 98 berhasil menumbangkan Orde Baru, maka generasi 66 berhasil mengakhiri Orde Lama. Dalam (puisi) “Sebuah Jaket Berlumur Darah” Taufik Ismail melukiskan suasana kepahlawanan itu:
Sebuah jaket berlumur darah
kami semua sudah menatapmu.
telah berbagi duka yang agung dalam kepedihan bertahun-tahun.
Begitu kita menyusuri sejarah bangsa ini lebih jauh, kita akan bertemu dengan generasi 45 yang mempelopori perjuangan kemerdekaan. Dan lebih jauh ke belakang, ada generasi 28 yang mempelopori persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan dan bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda. Lebih jauh lagi, kita akan bertemu dengan generasi 1900-an yang mempelopori kebangkitan nasional. Semua angkatan itu lahir silih berganti sampai datang angkatan 1998. Dan mereka lahir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa kita. Mereka selalu muncul sebagai pelopor, menghentikan kesunyian sejarah dan mengobarkan api kehidupan.
Abad 20, dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda. Tapi itu bukan hanya milik
Indonesia. Tanggal 23 Oktober 1956 Revolusi Hongaria meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa yang menentang pendudukan Uni Soviet dan pemerintahan boneka.
Para pemuda dan mahasiswa bahkan mempelopori perlawanan terhadap negara adi kuasa itu di seantero kawasan Eropa Timur.
Eropa Barat juga menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang tahun 60-an; gerakan mahasiswa di Perancis meledakkan Krisis 22 Mei 1968, mahasiswa Spanyol bangkit menentang diktator Jendral Franco pada 1965. Hal yang sama juga terjadi di Italia, Belgia dan negara Eropa lainnya.
Di dunia Islam, baik di kawasan Asia dan Afrika, para mahasiswa dan pemuda bangkit mempelopori perlawanan terhadap para penjajah di sepanjang paruh pertama abad 20 sampai tahun 70-an. Para pemudalah yang terlibat dalam Revolusi Aljazair 1954 yang mengenyahkan Prancis dari tanah itu.
Para pemuda dan mahasiwa juga berhasil mengusir Inggris dari Mesir. Dan sekarang, sejak 1987 hingga sekarang, anak-anak muda bahkan yang masih bocah, telah meletuskan Intifadhah melawan penjajah Israel di Palestina.
Anak-anak muda melemparkan batu melawan serdadu
Israel yang bersenjata lengkap sambil menyenandungkan syair Hasyim Al-Rifa’i:Itulah syurga yang menuntut harga
Hanya dari urat nadi para syuhada
Anak-anak muda selamanya adalah energi peradaban yang mengalirkan sungai sejarah. Setiap kali energi itu meledak, maka sejarah segera mencatat peristiwa-peristiwa dan langit menjadi saksi. Sebuah lembaran kehidupan baru dari buku sejarah manusia telah dibuka. Dan sejarah, kata Malik Bin Nabi, adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.
Anak-anak yang Gelisah
Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Sebelum kemerdekaan anak-anak muda
Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan penjajah serta merebut kemerdekaan. Tapi setelah merdeka mereka bangkit melawan penguasa tiran dan diktator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi dan politik.
Adalah bagian dari keunikan abad ini, Allah swt menakdirkan para penguasa tiran dan diktator lahir pada waktu yang hampir bersamaan. Ketika tirani Soekarno merajalela di Indonesia, maka di Yugoslavia ada Tito dan di Mesir ada
Nasser. Ketika kediktatoran Soeharto membungkam rakyat Indonesia, maka di Libya ada Khadafi, di Irak ada Saddam, di Syiria ada Asad, dan di Iran ada Pahlevi. DI abad ini pula lahir Hitler, Stalin dan Mossoulini. Jangan lupa, di abad ini pula dunia terlibat dalam dua kali perang akbar, Dunia I dan II, pada 1914 dan 1942.
Perlawanan dan pembelaan adalah energi peradaban. Dan energi itu lahir dari kegelisahan. Tapi dari manakah kegelisahan itu tercipta? Dari idealisme yang terpasung di alam kenyataan. Maka setiap kali janji kemakmuran terpasung dalam krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat, atau suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan, atau kebebasan ditindas oleh kediktatoran, setiap kali itu pula ada kegelisahan yang meresahkan jiwa anak-anak muda dan mencaut semua kenyamanan hidup mereka. Maka mereka bergerak dan segera berdiri di garis depan menyambut penggilan sejarah. Tapi anak muda macam manakah mereka? “Mereka adalah anak-anak muda yang telah beriman kepada Tuhan mereka, lalu Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. Al-Kahfi:13)
Demikianlah. Kegelisahan menjadi isyarat dari anak-anak peristiwa yang akan lahir dari rahim sejarah. Kegelisahan memberi energi. Dan energi itu tumpah ruah dalam semangat perlawanan dan pembelaan. Maka, ada peristiwa ada sejarah. Tapi ada satu fenomena yang jarang kita perhatikan dalam langkah sejarah, bahwa gerakan-gerakan pemuda seringkali dimatikan oleh orang-orang yang mencetuskannya pertama kali. Lihat Soekarno dan Soeharto.
Saatnya Kaum Muda Bangkit Kembali
Kini, kita tengah berada di persimpangan sejarah. Generasi 98 telah menjalankan tugasnya. Mereka telah berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan mengatar sejumlah elit politik baru ke panggung sejarah
Indonesia. Tapi tugas belum betul-betul tuntas. Tahun ini kita memperingati Sumpah Pemuda dengan kenyamanan yang terampas, sebab ada kegeliasahan baru, sebab ada idelisme yang terpasung di alam kenyataan, sebab cita-cita reformasi seperti hilang lenyap dalam retorika politik.
Masa transisi yang tengah kita alami ini boleh jadi merupakan awal dari bencana besar yang mungkin akan menimpa bangsa kita di masa depan. Sebab `humor-humor’ pemimpin kita ?Abdurahman Wahid? ternyata gagal membuat bangsa ini menjadi cepat tersenyum. Apalagi tertawa. `Humor-humor’ itu untuk sebagiannya, bahkan terasa mengerikan. Seperti ketika arogansi berhadap-hadapan dengan kenyataan bahwa negara kita sedang menghampiri kebangkrutannya, seperti ketika semangat memberantas KKN berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas kemiskinan masa lalu. Seperti ketika demokrasi dan keterbukaan serta dialog berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas marginlisasi politik masa lalu.
Pemerintahan Abdurahman Wahid sekarang, menurut saya, tidak akan mungkin bisa menegakkan hukum dengan baik. Karena; pertama, dia membawa dendam masa lalu, baik dendam atas kemiskinan atau dendam atas marginalisasi politik di masa lalu. Itu tidak mungkin, dan lebih parah lagi dia memang tidak mau. Kita tidak bisa berharap dari pemimpin yang `nervous’ di depan kekuasaan dan uang.
Ada masalah dalam bangsa kita, pertama dalam hal konsistensi yakni masalah penyimpangan di ujung jalan atau di tengah jalan. Pemimpin yang diasumsikan lurus ternyata membuyarkan seluruh harapan masyarakat. Itu juga yang mungkin terjadi sekarang. Mereka yang meretas jalan, tapi mereka pula yang merubuhkan panggungnya sendiri. Begitu seterusnya. Maka sudah saatnya kita berfikir bahwa kita yang meretas jalan, kita juga yang akan mengisi panggung itu seterusnya.
Kedua, rakyat ini tidak punya firasat. Ketika kita mencalonkan seorang, atau setidak-tidaknya menitipkan harapan pada seorang calon pemimpin, kita tidak mempunyai firasat tentang orang itu, bahwa orang itu bisa jadi gagal mengantar bangsa untuk menyelesaikan sebagian dari persoalan selama ini. Jadi terlepas dari perhitungan-perhitungan politik, pada dasarnya semua akan tergantung pada firasat kita terhadap seseorang. Dan kalau rakyat tidak mempunyai firasat tentang orang yang dicalonkannya, itu berarti mereka tidak mengenal dirinya sendiri. Dan ini berhubungan dengan hadits Nabi, “Kalau Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengangkat orang yang terbaik dari kaum itu sebagai pemimpin mereka, dan kalau Allah membenci suatu kaum maka Dia akan mengangkat orang yang terjahat menjadi pemimpin kaum itu.”
Kita, anak-anak muda yang telah menunaikan sebagian dari tugas sejarah, sekarang harus segera kembali mengkonsolidasikan diri, mencabut harapan pada pemerintahan ini, dan segera mematangkan diri secara dini, kemudian berkata dengan yakin kepada bangsa ini:Tuntaskan reformasi
Percepat alih generasi
Dan pertahankan keutuhan
Indonesia.
Mungkin memang harus begini kejadiannya. Bahwa sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Kita harus kembali penuhi jalan-jalan. Tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk terus mempercayai tugas sejarah ini kepada orang-orang tua kita sekarang. Perubahan-perubahan besar dalam sejarah pada mulanya tampak seperti kabut yang menghalangi cahaya matahari turun ke bumi. Itu yang membuat banyak orang ragu-ragu untuk melakukannya. Tetapi apabila masyarakat sudah mulai resah akibat lilitan berbagai macam problema, percayalah bahwa keresahan itu adalah awal dari ledakan energi peradaban.
Dulu Rasulullah bersabda: “
Para pemuda bersekutu denganku dan orang-orang tua memusuhiku.” Seperti sepotong sajak Taufik Ismail (1998) kepada mereka:
Seluruh jajaran aparat kenegaraan di atas umur tiga puluh sudah bersedia berdiri ke pinggir secara menyeluruh.
Bangsa kini dipimpin oleh anak-anak muda yang sebenar bersih.
Kami muncul lewat tahun-tahun pengalaman yang sangat pedih.
Hanya akal-akal raksasa yang tercerahkan wahyu yang siap menjadi pimpinan proyek peradaban kehendak Allah. Di mana mereka sekarang? Tidak ada peristiwa yang lebih mengharu-biru kaum Muslimin, di sepanjang masa kenabian dan perjuangan Rasulullah Saw, selain saat dimana beliau menyampaikan pidato dalam hajjatul wada’. Itulah haji pertama dan terakhir yang dilaksanakan Rasulullah saw sejak ibadah itu diwajibkan, menurut jumhur ulama, pada tahun keenam hijrah. Karena itu sebagian besar kaum Muslimin menyempatkan diri untuk berhaji tahun itu. Jumlah mereka sekitar 125 ribu orang.
Sementara kaum Muslimin Merasakan kegembiraan mendengar khotbah Rasulullah saw, Abu Bakar justru menangis tersedu-sedu. Ia menangkap dengan jelas isyarat yang tersimpan dalam kalimat-kalimat Rasulullah saw, bahwa masa hidupnya tidak akan lama lagi. Dan benar saja, Rasulullah saw kemudian wafat beberapa saat setelah hajjatul wada’ itu. Itu seperti sebuah isyarat bahwa tugas beliau sudah akan selesai sampai disini, tapi cita-cita untuk membawa cahaya Islam kepada seluruh umat manusia belum lagi selesai; dan adalah tugas para sahabat untuk melanjutkan risalah dakwah tersebut. Kini, setelah
lima belas abad kemudian, Islam menjadi fenomena sejarah sebagai sebuah peradaban terbesar yang pernah ada dan masih ada hingga saat ini. Islam tersebar di seluruh pelosok dunia, dari Aljir sampai Jakarta, dengan jumlah pemeluk sekitar 1,3 milyar manusia, atau sekitar seperlima dari total jumlah manusia yang menghuni bumi ini. Apabila Rasulullah saw meninggalkan lebih dari 125 ribu orang, maka dari merekalah sesungguhnya Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia. Tapi dari jumlah itu, sebenarnya sebagian besar mereka masuk ke dalam Islam justru setelah peristiwa Fathu Makkah pada tahun kedelapan hijrah, atau 20 tahun setelah Rasulullah saw menjadi rasul.
Ini berarti bahwa sahabat-sahabat beliau yang mempunyai peran besar dalam penyebaran Islam dan pembangunan peradaban Islam tidaklah terlalu banyak. Jumlah ulama dari sahabat-sahabat Rasulullah saw dalam catatan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam “I’lamul Muwaqqi’in”, hanya kurang dari 110 orang. Dan diantara mereka yang terbesar ada 7 orang, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ali Bin Ali Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud. Sebagian besar ulama dan pemikir Islam yang lahir kemudian, dari kalangan Tabi’in dan Tabi’uttabi’in dan seterusnya, mengambil ilmu dari mereka. Otak Arsitek
Peradaban selalu bermula dari gagasan. Peradaban-peradaban besar selalu lahir lahir dari gagasan-gagasan besar. Dan gagasan-gagasan besar selalu lahir akal-akal raksasa. Begitulah kejadiannya, jumlah sahabat yang ditinggalkan Rasulullah saw memang sedikit, tapi mereka semua membawa semangat dan kesadaran sebagai pembangun peradaban, dan membawa talenta sebagai arsitek peradaban. Kesadaran itu terbentuk sejak dini dalam benak mereka. Allah swt telah menciptakan manusia untuk beribadah dan mengelola serta menegakkan khilafah di muka bumi. Dan untuk itu Allah swt memberikan mereka “juklak” (petunjuk laksana) berupa al-Qur’an, dan menurunkan seorang rasul sebagai “komunikator” Allah Swt, sekaligus sebagai pemberi contoh laksana dalam kehidupan nyata.
Sejak awal mereka menyadari bahwa al-Qur’an bukanlah sebuah buku filsafat kehidupan, yang kering dan rumit, atau pikiran-pikiran indah yang tersimpan di menara gading dan tidak mempunyai alas dalam realitas kehidupan. al-Qur’an adalah sebuah “manual” tentang bagaimana seharusnya kita mengelola kehidupan di bumi ini. Bumi adalah ruang kehidupan tempat kita “menurunkan” kehendak-kehendak Allah swt, yang termaktub dalam wahyu, menjadi satuan-satuan realitas dalam kehidupan manusia di muka bumi. Bumi adalah realitas kasat mata yang harus dikelola manusia. Maka doktrin Al-Qur’an tentang Allah, Rasul, manusia dan kehidupan sejak awal menegaskan sebuah kesadaran yang integral; bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah akhirat, dan bahwa misi manusia di dunia ini adalah ibadah, tapi ruangnya adalah bumi. Karena itulah mereka mempunyai kesadaran yang kuat tentang ruang; ruang di mana mereka hidup, ruang yang menjadi wilayah kerja akal mereka, ruang yang menjadi tempat mereka menumpahkan seluruh proses kreatif mereka, yaitu bumi; dan bahwa ada ruang lain yang bukan wilayah kerja mereka, ruang dimana akal mereka tidak akan pernah sanggup menembusnya, ruang yang menjadi hak Allah Swt sendiri untuk menjelaskannya, yaitu ruang kegaiban, yaitu ruang metafisik di mana Allah swt menyimpan hakikat-hakikat besar dalam kehidupan ini, tentang Dzat-Nya sendiri, dunia malaikat, kehidupan akhirat, dan lainnya.
Kesadaran tentang ruang ini telah menanamkan sikap realisme dalam benak mereka, maka mereka bergerak lincah dalam wilayah itu. Proses kreativitas mereka tumpah ruah disini; dalam semangat merealisasikan kehendak-kehendak Allah Swt di muka bumi, dalam semangat memakmurkan dunia, dalam semangat membangun peradaban. Kesadaran tentang ruang sejak awal membuat peran intelektual dan kerja pemikiran mereka terpola dalam kerangka sebagai arsitek peradaban; bumi ini adalah lanskapnya, dan wahyu adalah kehendak-kehendak Sang Pemilik Kehidupan yang harus diolah menjadi sebuah master plan dan maket, darimana kemudian satuan-satuan kerja mengelola bumi menjadi rumah peradaban tempat manusia menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup, dimulai. Dan begitulah Rasulullah Saw memberikan tamsil, bahwa silsilah nabi dan rasul yang turun ke bumi ini seperti sebuah bangunan dimana setiap nabi atau rasul menyelesaikan satu tahap pekerjaan, hingga tiba saatnya Allah menutup mata rantai kenabian dimana “Aku,” kata Rasulullah Saw, “meletakkan batu terakhir.”
Ijtihad: Mata Air Peradaban Dalam konteks kesadaran tentang ruang dan pemilihan peran subjektif sebagai pembangun peradaban, kerangka kerja intelektual manusia Muslim terpola dalam fungsi-fungsi arsitektural dimana mereka mereka bekerja sebagai desainer, sebagai perancang, sebagai pembuat master plan. Dan begitulah kemudian sebuah karya peradaban besar lahir ke bumi; satu milenium lamanya manusia menikmati sejarah mereka yang terindah di bawah naungan Islam. Dalam fungsi arsitektural itulah metafor Iqbal menemukan maknanya; dimana hutan-hutan bumi berubah menjadi taman-taman kehidupan yang indah.
Dalam fungsi arsitektural itu juga akal-akal Muslim tumbuh dengan kemampuan berpikir dan berkreasi yang luar biasa pada semua kategori dan tingkatan kemampuan intelektual manusia; kemampuan memahami (daya serap), kemampuan menganalisa (daya analisis), kemampuan mencipta (daya cipta). Kemampuan itulah yang misalnya terlihat dalam sejarah ekspansi Islam, khususnya pada masa khulafa rasyidin. Dalam bidang politik, masa ekspansi besar-besar yang terjadi selama 30 tahun masa keempat khulafa rasyidin ini, telah disertai dengan peletakan dasar-dasar ketatanegaraan; bentuk dan sistem pemerintahan yang berorientasi global state tapi bersifat desentralis, sistem pemilihan khalifah, sistem administrasi dan keuangan negara yang berkembang pesat khususnya dalam pengelolaan wilayah-wilayah baru, manajemen konflik, dan lainnya. Dalam bidang keamanan dan geostrategi, selama masa ekspansi besar-besaran ini kita menyaksikan kejeniusan para khulafa dalam pengokohan integrasi teritorial dengan menjadikan jazirah Arab sebagai basis, strategi ekspansi dan taktik perang dalam menghadapi dua kekuatan terbesar, Persi dan Romawi.Kemampuan akal-akal Muslim juga terlihat dalam perkembangan ijtihad dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Usaha menjaga kemurnian dan keotentikan teks al-Qur’an telah dilakukan melalui pengumpulan dan penulisan mushaf pada masa Abu Bakar, dan standarisasi bacaannya pada masa Utsman bin Affan. Sementara itu, usaha menjaga kemurnian dan keotentikan Sunnah telah melahirkan satu metodologi baru yang tidak ada tandingannya dalam semua peradaban lainnya. Selanjutnya dari kedua sumber itu kemudian lahir berbagai macam ilmu-ilmu keislaman yang struktur dan content yang mandiri dan solid, khususnya ilmu fiqh yang menjadi induk pengetahuan keislaman ketika itu.
Selain perkembangan ilmu-ilmu keislaman, kita juga menyaksikan perkembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya yang bersifat terapan. Misalnya ilmu jiwa yang berkembang secara terapan melalui perkembangan ilmu suluk dan akhlaq. Ilmu politik dan ekonomi yang melalui serangkaian ijtihad politik yang timbul sebagai implikasi dari perluasan wilayah Islam. Ilmu sejarah dan sosial mungkin yang berkembang paling pesat, khususnya setelah pembauran berbagai etnis dan budaya selama masa ekspansi. Bahkan pengalaman panjang dalam jihad dan perang telah diformulasi oleh kaum Muslimin menjadi ilmu strategi dan taktik perang.
Demikian juga dalam bidang teknologi. Teknologi maritim, misalnya, telah berkembang pada masa Utsman bin Affan sejalan kebutuhan jihad untuk menghadapi Romawi yang menguasai teknologi itu. Demikian juga industri militer lainnya yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan jihad. Selain teknologi terapan, ilmu-ilmu eksakta, khususnya dalam bidang fisika dan kedokteran, telah berkembang pesat khususnya setelah kaum Muslimin menemukan dan mengembangkan metodologi empiris, yang hingga kini menjadi sebab perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, justru ketika Romawi menggunakan pendekatan teologi dan filsafat untuk ilmu-ilmu eksakta. Apa yang ingin ditegaskan disini adalah bahwa, kemampuan akal-akal Muslim tidak hanya pada daya serapnya yang sangat besar terhadap semua jenis ilmu pengetahuan, tapi juga kemampuannya dalam mengkritisi ilmu-ilmu baru yang sampai ke mereka, dan kemudian kemampuannya dalam merekonstruksinya kembali, dan bahkan kemampuannya dalam mencipta ilmu-ilmu baru atau metodologi baru. Dalam konteks itulah kita melihat bagaimana konsep ijtihad dalam Islam telah mewadahi proses kreativitas akal-akal Muslim, dan karenanya, kemudian menjadi mata air peradaban Islam yang tak pernah kering. Akal-akal Muslim itu, dengan kata lain, mampu memahami zamannya, dan sekaligus memberi sesuatu yang kepada zamannya.
Dimanakah Sang Arsitek Itu Kini? Tapi dimanakah akal-akal besar yang pernah menggoncang peradaban dunia dengan temuan-temuannya itu? Di manakah akal-akal Muslim yang dulu sanggup memahami zamannya dan kemudian memberi sesuatu yang baru bagi zamannya?
Inilah masalah kita. Akal-akal Muslim sekarang, bukan hanya tampak tidak berdaya memahami zamannya, apalagi memberi sesuatu yang baru bagi zamannya, tapi bahkan tidak sanggup memahami dirinya sendiri, tidak sanggup memahami sumber ajarannya sendiri, tidak sanggup memahami warisan peradabannya sendiri. Akal-akal Muslim sekarang tampak mengalami kelumpuhan. Tapi apakah yang membuatnya lumpuh? Ini bagian paling krusial dari keseluruhan problematika umat kita yang terkait dengan masalah manusia Muslim. Lumpuhnya akal-akal Muslim telah menyebabkan kita kehilangan mata air peradaban. Ketika generasi kemunduran menutup pintu ijtihad, maka mereka telah menutup mata air peradaban. Dan kekeringan inilah yang kini kita warisi dan belum sanggup kita selesaikan, sehingga kita menjadi komunitas global yang hanya hidup di pinggiran sejarah, serta tidak mempunyai campur tangan dalam berbagai peristiwa dunia kecuali hanya sebagai korban.
Kebesaran sejarah akal-akal Muslim yang telah saya sebutkan, bukanlah tempat yang baik untuk melindungi kelumpuhan akal-akal Muslim saat ini. Tapi apabila Allah Swt telah menetapkan bahwa Ia tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat sampai masyarakat itu sendiri merubah dirinya sendiri, maka sekarang kita mengetahui bahwa perubahan atas diri sendiri itu harus dimulai dari sini; merubah cara berpikir kita, dan merekonstruksinya agar ia mampu mengemban fungsi-fungsi arsitektural kembali, agar ia mampu merubah hutan-hutan bumi menjadi taman-taman kehidupan yang indah. Apa yang harus kita lakukan untuk itu adalah memperbaiki cara kita memahami sumber-sumber ajaran kita, Qur’an dan Sunnah, serta warisan intelektual dari peradaban kita. Dengan begitu kita dapat menemukan sistem dan metodologi pemikiran kita sendiri, untuk kemudian secara kritis dan independen berinteraksi dengan realitas zaman kita, dengan segala muatan peradabannya, dan selanjutnya menemukan jalan untuk merealisasikan kehendak-kehendak Allah Swt dalam kehidupan kita. Dalam di tengah jalan itulah kita menciptakan semua yang kita perlukan untuk sampai ke titik akhir tujuan kita; dimana ada hutan belantara yang menjelma jadi taman kehidupan yang indah.